ANTROPOLOGI

PENGANTAR ANTROPOLOGI
MULTIKURTURALISME


DISUSUN OLEH:
MOCHAMAD HAMZAH MAWALIDI
NIM    :2290150033
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PENDIDIKAN SOSIOLOGI
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
SERANG 2015

BAB 1
1.      LATAR BELAKANG
Apa saja yang di lakukan masyarakat yang bisa di anggap “KOTA” ini?apakah ada hal-hal yang sekiranya sama dengan masyarakat yang bisa di sebut sebuah “KAMPUNG”?Lalu apa yang membedakan ketika orang kampung yang berangan-angan ingin hidup(tinggal)di dataran kota,dan orang yang telah tinggal di kota malah kebanyakan ingin beralih ke kampung?sungguh sesuatu yang sangat membingungkan sekaligus bisa di bilang aneh jika kita piker secara sekilas saja,Ini yang membuat saya tertarik untuk bertanya-tanya tentang Serang,Ciceri Indah ini,untuk menimbang-nimbang perbedaan dengan kampong saya.Kp,Cibengkung Ds,Citorek Barat.
Serang,,,,,Sebuah kota yang amat luas menurut saya,hampir semua ada di sini.Dilihat dari serang ini banyak sekali orang yang menjadi penjual,dari jualan baju,perabotan,makanan biasa,nasi dan lain sebagainya.Boleh dikatakan benar-benar jauh berbeda kehidupan antara di serang ini dengan di kampug saya,sebuah kota yang amat padat dengan penduduk dan kendaraan,yang hampir setiap hari orang menunggu di lampu merah.benar-benar kehidupan yang amat susah meurut saya.beda halnya dengan kampung citorek yang mana orang-orang tidak penah merasakan adanya macet di jalanan yang berkelanjutan,sehingga orang-orang mau kapan saj bisa mengejar waktunya tanpa harus ada yng menghambat.tapi ada sesuattu hal yang berbeda pula di serang ini,dimana ketika kita mulai masuk ke pelosok-pelosok kota serang sendiri,ternyata ada hal-hal yang menyerupai dengan kampung saya sendiri.salah satunya Ciceri Indah ini.
Ciceri Indah ini ternyata suasananya amat tenang tatkala malam menjelang,sejuk,dan tidak terlalu banyak suara-suara yang membuat tak nyaman.mungkin penduduknya yang kurang berselera untuk main-main tengah malam seperti anak-anak remaja,atau yang lainnya pun.sehingga membuat suasana terasa bising,atau mungkin ada hal-hal yang tidak membuta mereka merasa berselera untuk gumbrung-gumbrung dengan teman-teman seperti halnya di kampung.atau apapun itu masalahnya yang membuat mereka merasa nyaman di rumah terus.
Perbedaan dengan kampung mungkin sudah tentu ada akan tetapi tidak sepenuhnya berbeda,seperti halnya dalam keagamaan.yang mana tradisi di ciceri indah ini masih melakukan tradisi seperti sukuran,cukuran,baik itu tahlilan,muludan dan lain sebagainya.hanya cara melakukannya saja yang berbeda sehingga banyak yang memandang di kampung dan di kota berbeda sekali,padahal hanya beberapa saja yang berbeda.
Di ciceri indah ini beberapa orang masih melakukan hal-hal yang sipatnya bersama,bisa di bilang socialnya masih ada,namun hanya beberapa saja yang melakukan akan tetapi,menurut hasil perbincangan singkat saya dengan satu dan dua orang warga yang ada di ciceri indah ini,mereka juga mengakui bahwa kebiasaan-kebiasaan dulu dengan sekarang amat berbeda sekali,waktu dulu dal hal yang bersipat gotong royong(suatu yang bersifat social) masyarakatnya masih kental,tapi ketika saat ini,banyak pula yang hanya masing-masing seakan-akan mereka tidak sadar bahwa mereka tergolong masyarak (kelompok) ciceri indah ini.
2.      RUMUSAN MASALAH
1.      Apa yang di sebut multikurtularisme?
2.      Kenapa multikurturalisme ada?
3.      Dan bagaimana dampak serta  menghadapi multikurturalisme?

3.      TUJUAN
Dengan makalah ini mudah-mudahan pembaca dapat menyadari akan multikurtural yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat,serta mampu untuk mengimplementasikan dalam kehidpan bermasyarakat setelah sadar akan adanya serta dampak  negatip dan positif multikurturalisme.

BAB 2
4.      PEMBAHASAN
PENGERTIAN MULTIKULTURALISME
            Sebelum beranjak lebih jauh,disini saya akan membahas multikurturalisme terlebih dahulu”.multikulturalisme adalah gejala pada seseorang atau suatu masyarakat yang di tandai oleh kebiasaan menggunakan lebih dari satu kebudayaan”.seprti halnya arti multikurturalisme itu sendiri,bahwa sesuatu yang berbeda-beda dalam kehidupan bermasyarakat,seperti halnya yang telah kita ketahui bahwa manusia itu beragam.baik dalam pemikirannya,tingkah laku DLL.
            Bagaimana jika suatu rencana atau suatu pemikiran semua orang sama,betapa buruk kehidupan ini,kerna bisa jadi ketika seseorang ingin buang air besar maka semua orang pun ingin buang air besar,sedangkan tempat hanya beberapa.perbedaan itu sebuah nikmat,maka dengan perbedaan yang ada di masyarakat menurt saya menjadi hal yang wajar ketika dalam suatu kelompok tercampuri oleh sesuuatu yang akan menjadi kelompok itu sendiri.
Multikulturalisme berhubungan dengan kebudayaan dan kemungkinan konsepnya dibatasi dengan muatan nilai atau memiliki kepentingan tertentu.
  • “Multikulturalisme” pada dasarnya adalah pandangan dunia yang kemudian dapat diterjemahkan dalam berbagai kebijakan kebudayaan yang menekankan penerimaan terhadap realitas keagamaan, pluralitas, dan multikultural yang terdapat dalam kehidupan masyarakat. Multikulturalisme dapat juga dipahami sebagai pandangan dunia yang kemudian diwujudkan dalam kesadaran politik (Azyumardi Azra, 2007)
  • Masyarakat multikultural adalah suatu masyarakat yang terdiri dari beberapa macam kumunitas budaya dengan segala kelebihannya, dengan sedikit perbedaan konsepsi mengenai dunia, suatu sistem arti, nilai, bentuk organisasi sosial, sejarah, adat serta kebiasaan (“A Multicultural society, then is one that includes several cultural communities with their overlapping but none the less distinc conception of the world, system of [meaning, values, forms of social organizations, historis, customs and practices”; Parekh, 1997 yang dikutip dari Azra, 2007).

  • Multikulturalisme mencakup suatu pemahaman, penghargaan serta penilaian atas budaya seseorang, serta suatu penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis orang lain (Lawrence Blum, dikutip Lubis, 2006:174)
  • Sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan (Suparlan, 2002, merangkum Fay 2006, Jari dan Jary 1991, Watson 2000)
  • Multikulturalisme mencakup gagasan, cara pandang, kebijakan, penyikapan dan tindakan, oleh masyarakat suatu negara, yang majemuk dari segi etnis, budaya, agama dan sebagainya, namun mempunyai cita-cita untuk mengembangkan semangat kebangsaan yang sama dan mempunyai kebanggan untuk mempertahankan kemajemukan tersebut (A. Rifai Harahap, 2007, mengutip M. Atho’ Muzhar).
Multikurturalisme cara hidup seseorang atau suatu kelompok yang berbeda-beda namun dalam satu wadah atau tempat,yang mana dengan multikurturalisme suatu kelompok akan menjadi lebh indah dan elok di pandang.

SEJARAH MULTIKULTURALISME
            Multikulturalisme bertentangan dengan monokulturalisme dan asimilasi yang telah menjadi norma dalam paradigma negara-bangsa (nation-state) sejak awal abad ke-19. Monokulturalisme menghendaki adanya kesatuan budaya secara normatif (istilah 'monokultural' juga dapat digunakan untuk menggambarkan homogenitas yang belum terwujud (pre-existing homogeneity). Sementara itu, asimilasi adalah timbulnya keinginan untuk bersatu antara dua atau lebih kebudayaan yang berbeda dengan cara mengurangi perbedaan-perbedaan sehingga tercipta sebuah kebudayaan baru.
Multikulturalisme mulai dijadikan kebijakan resmi di negara berbahasa-Inggris (English-speaking countries), yang dimulai di Afrika pada tahun 1999. Kebijakan ini kemudian diadopsi oleh sebagian besar anggota Uni Eropa, sebagai kebijakan resmi, dan sebagai konsensus sosial di antara elit.[butuh rujukan] Namun beberapa tahun belakangan, sejumlah negara Eropa, terutama Inggris dan Perancis, mulai mengubah kebijakan mereka ke arah kebijakan multikulturalisme. Pengubahan kebijakan tersebut juga mulai menjadi subyek debat di Britania Raya dam Jerman, dan beberapa negara lainnya?
Jenis Multikulturalisme == Berbagai== macam pengertian dan kecenderungan perkembangan konsep serta praktik multikulturalisme yang diungkapkan oleh para ahli, membuat seorang tokoh bernama Parekh (1997:183-185) membedakan lima macam multikulturalisme (Azra, 2007, meringkas uraian Parekh):
1.   Multikulturalisme isolasionis, mengacu pada masyarakat dimana berbagai kelompok kultural menjalankan hidup secara otonom dan terlibat dalam interaksi yang hanya minimal satu sama lain.
2.   Multikulturalisme akomodatif, yaitu masyarakat yang memiliki kultur dominan yang membuat penyesuaian dan akomodasi-akomodasi tertentu bagi kebutuhan kultur kaum minoritas. Masyarakat ini merumuskan dan menerapkan undang-undang, hukum, dan ketentuan-ketentuan yang sensitif secara kultural, dan memberikan kebebasan kepada kaum minoritas untuk mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan meraka. Begitupun sebaliknya, kaum minoritas tidak menantang kultur dominan. Multikulturalisme ini diterapkan di beberapa negara Eropa.
3.   Multikulturalisme otonomis, masyarakat plural dimana kelompok-kelompok kutural utama berusaha mewujudkan kesetaraan (equality) dengan budaya dominan dan menginginkan kehidupan otonom dalam kerangka politik yang secara kolektif bisa diterima. Perhatian pokok-pokok kultural ini adalah untuk mempertahankan cara hidup mereka, yang memiliki hak yang sama dengan kelompok dominan; mereka menantang kelompok dominan dan berusaha menciptakan suatu masyarakat dimana semua kelompok bisa eksis sebagai mitra sejajar.
4.   Multikulturalisme kritikal atau interaktif, yakni masyarakat plural dimana kelompok-kelompok kultural tidak terlalu terfokus (concern) dengan kehidupan kultural otonom; tetapi lebih membentuk penciptaan kolektif yang mencerminkan dan menegaskan perspektif-perspektif distingtif mereka.
5.   Multikulturalisme kosmopolitan, berusaha menghapus batas-batas kultural sama sekali untuk menciptakan sebuah masyarakat di mana setiap individu tidak lagi terikat kepada budaya tertentu dan, sebaliknya, secara bebas terlibat dalam percobaan-percobaan interkultural dan sekaligus mengembangkan kehidupan kultural masing-masing.
Multikulturalisme di Indonesia
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat dengan tingkat keanekaragaman yang sangat kompleks. Masyarakat dengan berbagai keanekaragaman tersebut dikenal dengan istilah mayarakat multikultural. Bila kita mengenal masyarakat sebagai sekelompok manusia yang telah cukup lama hidup dan bekerja sama sehingga mereka mampu mengorganisasikan dirinya dan berfikir tentang dirinya sebagai satu kesatuan sosial dengan batas-batas tertentu (Linton), maka konsep masyarakat tersebut jika digabungkan dengan multikurtural memiliki makna yang sangat luas dan diperlukan pemahaman yang mendalam untuk dapat mengerti apa sebenarnya masyarakat multikultural itu.
Multikultural dapat diartikan sebagai keragaman atau perbedaan terhadap suatu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain. Sehingga masyarakat multikultural dapat diartikan sebagai sekelompok manusia yang tinggal dan hidup menetap di suatu tempat yang memiliki kebudayaan dan ciri khas tersendiri yang mampu membedakan antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain. Setiap masyarakat akan menghasilkan kebudayaannya masing-masing yang akan menjadi ciri khas bagi masyarakat tersebut.
Dari sinilah muncul istilah multikulturalisme. Banyak definisi mengenai multikulturalisme, diantaranya multikulturalisme pada dasarnya adalah pandangan dunia -yang kemudian dapat diterjemahkan dalam berbagai kebijakan kebudayaan- yang menekankan tentang penerimaan terhadap realitas keragaman, pluralitas, dan multikultural yang terdapat dalam kehidupan masyarakat. Multikulturalisme dapat juga dipahamni sebagai pandangan dunia yang kemudian diwujudkan dalam “politics of recognition” (Azyumardi Azra, 2007). Lawrence Blum mengungkapkan bahwa multikulturalisme mencakup suatu pemahaman, penghargaan dan penilaian atas budaya seseorang, serta penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis orang lain. Berbagai pengertian mengenai multikulturalisme tersebut dapat ddisimpulkan bahwa inti dari multikulturalisme adalah mengenai penerimaan dan penghargaan terhadap suatu kebudayaan, baik kebudayaan sendiri maupun kebudayaan orang lain. Setiap orang ditekankan untuk saling menghargai dan menghormati setiap kebudayaan yang ada di masyarakat. Apapun bentuk suatu kebudayaan harus dapat diterima oleh setiap orang tanpa membeda-bedakan antara satu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain.
Pada dasarnya, multikulturalisme yang terbentuk di Indonesia merupakan akibat dari kondisi sosio-kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas. Menurut kondisi geografis, Indonesia memiliki banyak pulau dimana stiap pulau tersebut dihuni oleh sekelompok manusia yang membentuk suatu masyarakat. Dari masyarakat tersebut terbentuklah sebuah kebudayaan mengenai masyarakat itu sendiri. Tentu saja hal ini berimbas pada keberadaan kebudayaan yang sangat banyak dan beraneka ragam.
Dalam konsep multikulturalisme, terdapat kaitan yang erat bagi pembentukan masyarakat yang berlandaskan bhineka tunggal ika serta mewujudkan suatu kebudayaan nasional yang menjadi pemersatu bagi bangsa Indonesia. Namun, dalam pelaksanaannya masih terdapat berbagai hambatan yang menghalangi terbentuknya multikulturalisme di masyarakat.
Multikultural dapat terjadi di Indonesia karena:1. Letak geografis Indonesia2. perkawinan campur (luar Indonesia)3. Iklim.
Teori sosial kritis menjelaskan kesadaran untuk melakukan perubahan social, dengan menyatakan bahwa perubahan social tidak dapat berlangsung dipundak individu-individu; sebaliknya, multikulturalisme menjadikan pribadi sebagai agenda politik utama. Inilah wilayah utama di mana multikulturalisme lebih dekat kepada liberalisme ketimbang ideologi kiri, demikian menurut Ben Agger (2003; 140-141).

DAMPAK MULTIKULTURALISME
Dampak Negatif Multikultural Di Indonesia Baik Agama Maupun Buadaya.
Satu hal yang harus disadari bahwa Indonesia adalah negara yang di dalamnya terdiri atas banyak bangsa (plural), banyak ras, suku/etnis, agama, budaya, termasuk orientasi seksual. gagasan umum keberagamaan ras, yang hidup dalam harmoni pluralistik, yang melihat keberagamaan sebagai pluralitas identitas dan kondisi eksistensi manusia. Identitas dipandang sebagai produk adat istiadat, praktik, dan makna yang merupakan warisan dan ciri pembawaan serta pengalaman bersama.
Blue Mink mengatakan bahwa identitas dibentuk oleh relasi-relasi kekuasaan. Identitas etnik sebagian besar adalah imajinasi sosial yang memilah beragam kelompok budaya ke dalam suatu komunitas dengan mengikat mereka bersama dalam narasi sastra dan visual yang ditempatkan dalam teritori sejarah dan memori. Sehingga dalam rangka membangun demokratisasi lokal dan pemberdayaan kaum minoritas agama dan kebudayaan lokal ini, kita harus menyertakan multikulturalisme.
Tetapi pada kenyataannya di Indonesia dampak negatif dari Multikulturalnya agama, ras, bahasa, budaya menyebabkan konflik bergenerasi antar kelompok masyarakat (konflik horizontal) dan konflik antar masyarakat/pemerintah daerah dan pusat (konflik vertical) dan generasi dengan pelaku dan intensitas yang berbeda. Sebagai contoh pembakaran pasar Glodok (Peristiwa Mei Kelabu) di Jakarta, yang menjadi sasaran adalah kelompok etnis. Keturunan Tionghoa (sebelumnya telah terjadi di Medan kemudian di Bandung, Solo, dan Makasar). Peristiwa Ambon-Maluku (Pertarungan antara BBM (Bugis-Buton-Makasar) dan Ambon Islam melawan Ambon Kristen). Peristiwa Sambas dan Palangkaraya (Kalimantan) (Pertarungan antara Dayak, Melayu dan Tionghoa melawan Madura), Peristiwa Poso (pertarungan antara kelompok Islam dan Kristen yang disertai oleh unsur-unsur dari luar), Peristiwa Sumbawa (NTT) perkelahian antara orang Sumbawa dan Bali, peristiwa Aceh (pertarungan antara orang Aceh dan transmigrasi Jawa), peristiwa separatisme Gerakan Aceh Merdeka dan Organisasi Papua Merdeka disusul penghancuran masjid-masjid Ahmadiyah di Parung Bogor yang dipicu oleh perbedaan agama, atau kasus-kasus yang sudah agak lama tapi tetap masih menjadi ingatan kita seperti pemboman Borobudur, pemboman beberapa gereja di Indonesia atau kasus terbesar yang pernah dihadapi oleh Indonesia.
Seiring dengan itu, negara yang diharapkan menjadi wadah penyalamat juga mengalami kekacauan dengan membudayanya praktek korupsi, kolusi dan nepotisme dijajaran birokrasi, komitmen moral para wakil rakyat terhadap masyarakat pun sangat rendah. Sementara, keadilan, kemiskinan atau ketimpangan sosio-politik ekonomi masyarakat semakin tinggi. Hal ini memberi isyarat bahwa keinginan untuk membangun masyarakat berperadaban (civil society) dan keadilan sosial masih jauh panggang dari api. Oleh karenanya, menjadi suatu keharusan pemerintah segera mereformasi mental, moralitas jajaran birokrasi, jika tidak maka krisis akan terus berkelanjutan dan disintegrasi tinggal menunggu bak bom waktu.
Menurut Miriam Budiarjo, sebuah negara dikatakan demokratis ketika ditandai dengan adanya perlindungan konstitusional terhadap semua warga negara, termasuk terhadap kaum minoritas (Miriam Budiarjo: 1999). Sementara menurut Sri Sumantri, negara demokrasi salah satunya ditandai oleh dilindungi dan dipertimbangkannnya Kepentingan minoritas (Frans Magnis Suseno, 1998; 72). Karena itu, salah satu ukuran bagi tumbuh dan berkembangnya demokrasi adalah dihargainya hak-hak minoritas (minority right). Oleh karena itu pembelaan dan perlindungan terhadap kelompok minoritas baik agama, etnis maupun gender merupakan upaya penting yang harus dilakukan seiring dengan upaya-upaya mengawal proses demokratisasi tersebut.
Namun, selama ini kelompok-kelompok minoritas selalu dipinggirkan, disingkirkan baik secara ekonomi, politik, sosial, maupun budaya. Bahkan tidak hanya itu, secara historis, sejarah mereka pun tersisihkan. Mereka umumnya berada pada “margin history” yang berfungsi sebagai “pelengkap penderita” sejarah mainstream kelompok utama. Dalam banyak hal, kekuasaan politik yang biasanya hanya memenuhi keinginan kelompok mayoritas memiliki peran sentral dalam melakukan proses peminggiran terhadap “komunitas splinter ini.
Justru dari contoh dapat dilihat betapa kelompok-kelompok mayoritas menindas kelompok minoritas, untuk memaksakan kehendaknya. Persaingan yang tidak sehat antar budaya dan ras, memaksakan kebenaran, saling merasa paling unggul sehingga ada benarnya apa yang dikatakan Rorty bahwa Spesies manusia akan mati tercekik karena dengan klaim-klaim “universal” kebudayaan dan peradaban lokal yang saling mengerkah.
Maka dari itu harus dilakukan upaya merajut kembali hubungan antarmanusia yang belakangan selalu hidup dalam suasana penuh dengan konfliktual. Harus ada sebuah kesadaran masif yang muncul bahwa diperlukan kepekaan terhadap kenyataan kemajemukan, pluralitas bangsa, baik dalam etnis, agama, budaya, hingga orientasi politik. Sehingga akan terbangun suatu sistem tata nilai kehidupan yang menjunjung tinggi toleransi, kerukunan dan perdamaian bukan konflik atau kekerasan meskipun terdapat perbedaan sistem sosial di dalamnya, yaitu pemahaman tentang Multikulturasisme yang belum dipahami dengan benar dan menyeluruh.

3. Solusi Terahadap Dampak Negatif Multikurtural Di Indonesia
Merupakan kenyataan yang tak bisa ditolak bahwa negara-bangsa Indonesia terdiri dari berbagai kelompok etnis, budaya, agama dan lain-lain sehingga negara-bangsa Indonesia secara sederhana dapat disebut sebagai masyarakat “multikultural”. Tetapi pada pihak lain, realitas “multikultural” tersebut berhadapan dengan kebutuhan mendesak untuk merekonstruksi kembali “kebudayaan nasional Indonesia” yang dapat menjadi “integrating force” yang mengikat seluruh keragaman etnis dan budaya tersebut.
Perbedaan budaya merupakan sebuah konduksi dalam hubungan interpersonal. Sebagai contoh ada yang orang yang bila diajak bicara (pendengar) dalam mengungkapkan perhatiannya cukup dengan mengangguk-anggukan kepala sambil berkata “uh. huh”. Namun dalam kelompok lain untuk menyatakan persetujuan cukup dengan mengedipkan kedua matanya. Dalam beberapa budaya, individu-individu yang berstatus tinggi biasanya yang memprakarsai, sementara individu yang statusnya rendah hanya menerima saja sementra dalam budaya lain justru sebaliknya.
Beberapa psikolog menyatakan bahwa budaya menunjukkan tingkat intelegensi masyarakat. Sebagai contoh, gerakan lemah gemulai merupakan ciri utama masyarakat Bali. Oleh karena kemampuannya untuk menguasai hal itu merupakan ciri dari tingkat intelligensinya. Sementara manipulasi dan rekayasa kata dan angka menjadi penting dalam masyarakat Barat. Oleh karenanya “keahlian” yang dimiliki seseorang itu menunjukkan kepada kemampuan intelligensinya.
Dari sisi Psikologis manusia, maka setiap tindakan manusia adalah dipengaruhi oleh pikirannya, meminjam istilah dari walter lippman, tindakan manusia itu dipengaruhi oleh Picture in our head yang ada di dalam diri masing-masing orang, atau dipengaruhi oleh Frame of Reference-nya dan dipengaruhi oleh Field of Experience-nya, sehingga sebuah proses perubahan perilaku manusia (behaviourisme) mestilah di awali dari perubahan apa yang menjadi Frame of Reference-nya dan Field of Experience-nya. Menurut sudut pandang faham Psikologi kognitif, maka semua perilaku manusia dipengaruhi oleh cara berpikir manusia tersebut. Hasil olah pikir manusia itulah yang memotivasi perilaku manusia. Sedangkan menurut faham Psikoanalisis, maka perilaku manusia dipengaruhi oleh mentalitas manusia tersebut.
Dari sudut pandang metafisik atau sudah pandang ajaran keruhanian, maka dipahami bahwa tindakan manusia atau perilaku manusia itu di pengaruhi oleh cara berpikir manusia tersebut, dipengaruhi oleh akan manusia tersebut dan akal manusia tersebut dipengaruhi oleh dorongan hatinya. Khatir-Khatir atau lintasan-lintasan hati itulah yang mempengaruhi akal pikir dan kemudian menggerakkan manusia untuk berbuat atau bertindak (Imam Ghozali, Rahasia Keajaiban Hati).
Baikpun perspektif Psikologis yang digunakan, maupun perspektif metafisik atau keruhanian yang digunakan, semua menuju ke satu arah. Yaitu jika ingin dilakukan sebuah perubahan di dalam perilaku, maka ada ‘sesuatu’ yang harus diubah, ada ‘sesuatu’ yang harus dididik, baikpun itu akal pikir atau cara berpikirnya, maupun dari sisi motivasi hatinya. Dari pemahaman di atas, maka penulis menganggap bahwa jalur pendidikan adalah sesuatu yang prinsip untuk diperhatikan di dalam rangka mengurangi permasalahan-permasalah yang timbul di kehidupan sosial terutama yang sekarang penulis soroti adalah dalam rangka mengurangi permasalahan-permasalahan yang timbul akibat adanya perbedaan agama di Indonesia. Tetapi permasalahannya, pendidikan yang bagaimanakah yang tepat untuk diterapkan di Indonesia ? Pendidikan yang bagaimanakah yang dapat mempersiapkan Frame of Reference dan Field Experience sehingga perbedaan agama bukanlah sebuah masalah melainkan sebuah kewajaran yang harus disikapi secara proporsional ? Pendidikan yang bagaimanakah yang dapat mempersiapkan Picture in Our head bagi bangsa Indonesia di dalam menghadapi perbedaan agama maupun kultur ini ?
Amerika Serikat ketika ingin membentuk masyarakat baru-pasca kemerdekaannya (4 Juli 1776) baru disadari bahwa masyarakatnya terdiri dari berbagai ras dan asal negara yang berbeda. Oleh karena itu, dalam hal ini Amerika mencoba mencari terobosan baru yaitu dengan menempuh strategi menjadikan sekolah sebagai pusat sosialisasi dan pembudayaan nilai-nilai baru yang dicita-citakan. Melalui pendekatan inilah, dari Sd sampai Perguruan Tinggi, Amerika Serikat berhasil membentuk bangsanya yang dalam perkembangannya melampaui masyarakt induknya yaitu Eropa. Kaitannya dengan nilai-nilai kebudayaan yang perlu diwariskan dan dikembangkan melalui sistem pendidikan pada suatu masyarakat, maka Amerika Serikat memakai sistem demokrasi dalam pendidikan yang dipelopori oleh John Dewey. Intinya adalah toleransi tidak hanya diperuntukkan untuk kepentingan bersama akan tetapi juga menghargai kepercayaan dan berinteraksi dengan anggota masyarakat.
Pendidikan multikultural (multicultural education) merupakan respon terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok. Dalam dimensi lain, pendidikan multikultural merupakan pengembangan kurikulum dan aktivitas pendidikan untuk memasuki berbagai pandangan, sejarah, prestasi dan perhatian terhadap orang-orang non Eropa (Hilliard, 1991-1992). Sedangkan secara luas pendidikan multikultural itu mencakup seluruh siswa tanpa membedakan kelompok-kelompoknya seperti gender, etnic, ras, budaya, strata sosial dan agama.
Selanjutnya James Banks (1994) menjelaskan bahwa pendidikan multikultural memiliki lima dimensi yang saling berkaitan :
1. Content Integration
Mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep mendasar, generalisasi dan teori dalam mata pelajaran/disiplin ilmu.
2. The Knowledge Construction Process
Membawa siswa untuk memahami implikasi budaya ke dalam sebuah mata pelajaran (disiplin).
3. An Equity Paedagogy
Menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragam baik dari segi ras, budaya ataupun social.
4. Prejudice Reduction
Mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menentukan metode pengajaran mereka.
5. Melatih kelompok untuk berpartisipasi dalam kegiatan olahraga, berinteraksi dengan seluruh staff dan siswa yang berbeda etnis dan ras dalam upaya menciptakan budaya akademik.
Ada beberapa pendekatan dalam proses pendidikan multikultural, yaitu :
Pertama, tidak lagi terbatas pada menyamakan pandangan pendidikan (education) dengan persekolahan (schooling) atan pendidikan multikultural dengan program-program sekolah formal. Pandangan yang lebih luas mengenai pendidikan sebagai transmisi kebudayaan membebaskan pendidik dari asumsi bahwa tanggung jawab primer menegmbangkan kompetensi kebudayaan di kalangan anak didik semata-mata berada di tangan mereka dan justru semakin banyak pihak yang bertanggung jawab karena program-program sekolah seharusnya terkait dengan pembelajaran informal di luar sekolah.
Kedua, menghindari pandangan yang menyamakan kebudayaan kebudayaan dengan kelompok etnik adalah sama. Artinya, tidak perlu lagi mengasosiasikan kebudayaan semata-mata dengan kelompok-kelompok etnik sebagaimana yang terjadi selama ini. secra tradisional, para pendidik mengasosiasikan kebudayaan hanya dengan kelompok-kelompok sosial yang relatif self sufficient, ketimbang dengan sejumlah orang yang secara terus menerus dan berulang-ulang terlibat satu sama lain dalam satu atau lebih kegiatan. Dalam konteks pendidikan multikultural, pendekatan ini diharapkan dapat mengilhami para penyusun program-program pendidikan multikultural untuk melenyapkan kecenderungan memandang anak didik secara stereotip menurut identitas etnik mereka dan akan meningkatkan eksplorasi pemahaman yang lebih besar mengenai kesamaan dan perbedaan di kalangan anak didik dari berbagai kelompok etnik.
Ketiga, karena pengembangan kompetensi dalam suatu “kebudayaan baru” biasanya membutuhkan interaksi inisiatif dengan orang-orang yang sudah memiliki kompetensi, bahkan dapat dilihat lebih jelas bahwa uapaya-upaya untuk mendukung sekolah-sekolah yang terpisah secara etnik adalah antitesis terhadap tujuan pendidikan multikultural. Mempertahankan dan memperluas solidarits kelompok adalah menghambat sosialisasi ke dalam kebudayaan baru. Pendidikan bagi pluralisme budaya dan pendidikan multikultural tidak dapat disamakan secara logis.
Keempat, pendidikan multikultural meningkatkan kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kebudayaan mana yang akan diadopsi ditentukan oleh situasi.
Kelima, kemungkinan bahwa pendidikan bahwa pendidikan (baik dalam maupun luar sekolah) meningkatkan kesadaran tentang kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kesadaran seperti ini kemudian akan menjauhkan kita dari konsep dwi budaya atau dikhotomi antara pribumi dan non-pribumi. Dikotomi semacam ini bersifat membatasi individu untuk sepenuhnya mengekspresikan diversitas kebudayaan. Pendekatan ini meningkatkan kesadaran akan multikulturalisme sebagai pengalaman normal manusia.
Kesadaran ini mengandung makna bahwa pendidikan multikultural berpotensi untuk menghindari dikotomi dan mengembangkan apresiasi yang lebih baik melalui kompetensi kebudayaan yang ada pada diri anak didik.
Dalam konteks keindonesiaan dan kebhinekaan, kelima pendekatan tersebut haruslah diselaraskan dengan kondisi masyarakat Indonesia. Masyarakat adalah kumpulan manusia atau individu-individu yang terjewantahkan dalam kelompok sosial dengan suatu tantangan budaya atau tradisi tertentu. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Zakiah Darajat yang menyatakan, bahwa masyarakat secara sederhana diartikan sebagai kumpulan individu dan kelompok yang diikat oleh kesatuan negara, kubudayaan dan agama.
Jadi dapat dipahami inti masyarakat adalah kumpulan besar individu yang hidup dan bekerja sama dalam masa relatif lama, sehingga individu-individu dapat memenuhi kebutuhan mereka dan menyerap watak sosial. Kondisi itu selanjutnya membuat sebagian mereka menjadi komunitas terorganisir yang berpikir tentang dirinya dan membedakan ekstensinya dari ekstensi komunitas. Dari sisi lain, apabila kehidupan di dalam masyarakat berarti interaksi antara individu dan lingkungan sosialnya. Maka yang menjadikan pembentukan individu tersebut adalah pendidikan atau dengan istilah lain masyarakat pendidik.
Oleh karena itu, dalam melakukan kajian dasar kependidikan terhadap masyarakat. Secara garis besar dasar-dasar yang dimaksud adalah sebagai berikut :
1. Masyarakat tidak ada dengan sendirinya. Masyarakat adalah ekstensi yang hidup, dinamis, dan selalu berkembang.
2. Masyarakat bergantung pada upaya setiap individu untuk memenuhi kebutuhan melalui hubungan dengan individu lain yang berupaya memenuhi kebutuhan.
3. Individu-individu, di dalam berinteraksi dan berupaya bersama guna memenuhi kebutuhan, melakukan penataan terhadap upaya tersebut dengan jalan apa yang disebut tantangan social.
4. Setiap masyarakat bertanggung jawab atas pembentukan pola tingkah laku antara individu dan komunitas yang membentuk masyarakat.
5. Pertumbuhan individu di dalam komunitas, keterikatan dengannya, dan perkembangannya di dalam bingkai yang memnuntunya untuk bertanggung jawab terhadap tingkah lakunya.
Bila penjelasan di atas ditarik di dalam dunia pendidikan, maka masyarakat sangat besar peranan dan pengaruhnya terhadap perkembangan intelektual dan kepribadian individu peserta didik. Sebab keberadaan masyarakat merupakan laboratorium dan sumber makro yang penuh alternatif untuk memperkaya pelaksanaan proses pendidikan.
Untuk itu, setiap anggota masyarakat memiliki peranan dan tanggung jawab moral terhadap terlaksananya proses pendidikan. Hal ini disebabkan adanya hubungan timbal balik antara masyarakat dan pendidikan. Dalam upaya memberdayakan masyarakat dalam dunia pendidikan merupakan satu hal penting untuk kemajuan pendidikan”.


























BAB 3
PENUTUP


KESIMPULAN
Multikulturalisme berawal dari individu yang memiliki tujuan sehing mendapat teman yang satu  tujuan sehingga membentuk suatu kelompok dalam masyarakat yang di namakan multikultur,yang mana di Indonesia ini banyak sekali kultur.akan tetapi yang perlu kita sadari dari segala permasalahan,tentu pasti ada dampak negative maupun positif,dan mencorok kemanakah permasalahan itu,negatifkah atau positifkah?itu yang perlu kita waspadai.karna kita sendiri yang akan menjadi peran di dalamnya.di mana dengan adanya multikulturalisme kita dapat memahami seseorang atau suatu kelompok yang berbeda dengan kita.
DAFTAR PUSTAKA
https://id.wikipedia.org/wiki/Multikulturalisme


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Teknologi Sebagai Pendekatan Pendidikan

BUDAYA DI BANTEN

Observasi banten lama