mochamad hamzah mawalidi,"FILSAFAT" di kutip dari Yuli Sectio Rini




 BAB I PENGERTIAN FILSAFAT (Bahan Pertemuan Ke-2) Apakah Filsafat itu? Seorang yang berfilsafat digambarkan oleh Jujun S. Suriasumantri seperti orang yang berpijak di bumi sedang tengadah memandang bintang-bintang di langit, dia ingin mengetahui hakekat dirinya dalam kesemestaan galaksi. Seorang yang berdiri di puncak bukit, memandang ke ngarai dan lembah di bawahnya, dia ingin menyimak kehadirannya dengan kesemestaan yang ditatapnya (Jujun Sriasumantri, 1996: 2). Seperti juga yang digambarkan oleh Harold H. Titus dan kawan-kawan, ketika ada pertanyaan seorang bocah berumur empat tahun yang menanyakan soal-soal luar biasa yang keluar dari mulutnya. Ia menanyakan "bagaimana dunia ini bermula?", atau "benda-benda itu itu terbuat dari apa?", atau "apa yang terjadi pada seseorang jika ia mati?" (Harold H. Titus dkk., 1984: 5). Gambaran dan pertanyaan-pertanyaan di atas akan membawa, menuntun, dan mengantarkan seseorang pada dunia pemikiran yang sangat mendasar dan substansial. Ketika seseorang memikirkan dan berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, tanpa disadarinya bahwa ia sedang berfilsafat. Menurut Titus, kita semua mempunyai ide-ide tentang benda-benda, tentang sejarah, arti kehidupan, mati, Tuhan, baik dan buruk, benar dan salah, keindahan dan kejelekan, dan sebagainya (Harold H. Titus dkk., 1984: 10-11). Untuk bisa mengetahui dan menjelaskan hakekat hal-hal tersebut, dibutuhkan suatu pemikiran dan perenungan, yang dapat disebut sebagai berpikir filsafati. Pertanyaannya adalah apakah yang dimaksud dengan berpikir filsafati tersebut? Kata filosofi (philosophy) berasal dari perkataan Yunani philos (suka, cinta) dan sophia (kebijaksanaan). Jadi kata filosofi berarti cinta kepada kebijaksanaan. Suatu definisi filsafat dapat diberikan dari berbagai pandangan. Berikut ini dapat dicermati beberpa definisi filsafat. Pertama, filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan dan alam yang biasanya diterima secara tidak kritis. Definisi ini merupakan arti yang informal tentang filsafat atau kata-kata "mempunyai filsafat", misalnya ketika seseorang berkata: "Filsafat saya adalah...", ia menunjukkan sikapnya yang informal terhadap apa yang dibicarakan.
Jika seseorang mengalami suatu krisis atau pengalaman yang luar biasa, kemudian ditanyakan kepadanya: "bagaimana pengaruh kejadian itu?", "bagaimana ia menghadapinya?". Kadang-kadang jawabannya adalah: "ia menerima hal itu secara falsafiah". Ini berarti bahwa ia melihat problema tersebut dalam perspektif yang luas, atau sebagai suatu bagian dari susunan yang lebih 2
besar. Oleh karena itu, ia menghadapi situasi itu secara tenang dan dengan berpikir, dengan keseimbangan dan rasa tenteram. Kedua, filsafat adalah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang sangat dijunjung tinggi. Ini adalah arti yang formal dari "berfilsafat". Dua arti filsafat, "memiliki dan melakukan", tidak dapat dipisahkan sepenuhnya satu dari lainnya. Oleh karena itu, jika tidak memiliki suatu filsafat dalam arti yang formal dan personal, seseorang tidak akan dapat melakukan filsafat dalam arti kritik dan reflektif (reflective sense). Meskipun demikian, memiliki filsafat tidak cukup untu melakukan filsafat. Suatu sikap falsafi yang benar adalah sikap yang kritis dan mencari. Sikap itu adalah sikap terbuka, toleran, dan mau melihat segala sudut persoalan tanpa prasangka. Berfilsafat tidak hanya berarti "membaca dan mengetahui filsafat". Seseorang memerlukan kebolehan berargumentasi, memakai teknik analisa, dan mengetahui sejumlah bahan pengetahuan, sehingga ia dapat memikirkan dan merasakan secara falsafi. Ahli filsafat selalu bersifat berpikir dan kritis. Mereka melakukan pemeriksaan kedua (a second look) terhadap bahan-bahan yang disajikan oleh faham orang awam (common sense). Mereka mencoba untuk memikirkan bermacam-macam problema kehidupan dan menghadapi fakta-fakta yang ada hubungannya dengan itu. Memiliki pengetahuan banyak tidak dengan sendirinya akan mendorong dan menjamin seseorang untuk memahami, karena pengetahuan banyak belum tentu mengajar akal untuk mengadakan evaluasi kritis terhadap fakta-fakta yang memerlukan pertimbangan (judment) yang bersifat konsisten dan koheren. Evaluasi-evaluasi kritis sering berbeda. Ahli filsafat, teologi, sains, dan lain-lainnya mungkin berbeda karena beberapa alasan: 1. Mereka melihat benda dari sudut pandang yang berbeda dikarenakan adanya pengalaman pribadi, latar belakang kebudayaan, dan pendidikan yang berbeda. 2. Mereka hidup dalam dunia yang berubah. Manusia berubah, masyarakat berubah, dan alam juga berubah. Sebagian manusia ada yang mau mendengarkan (responsive) dan peka (sensitive) terhadap perubahan, sebagian lainnya berpegang pada tradisi dan status quo, kepada sistem yang dibentuk pada masa silam dan karena diangga final. 3. Mereka itu menangani bidang pengalaman kemanusiaan di mana bukti-buktinya tidak cukup sempurna, sehingga dapat ditafsirkan bermacam-macam. Meskipun demikian, ahli filsafat tetap memeriksa, menyelidiki, dan mengevaluasi bahan-bahan itu dengan harapan dapat menyajikan prinsip-prinsip yang konsisten yang dapat dipakai oleh seseorang dalam kehidupannya.
Ketiga, filsafat adalah usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan. Filsafat berusaha untuk mengombinasikan hasil bermacam-macam sains dan pengalaman kemanusiaan sehingga menjadi pandangan yang konsisten tentang alam. Seorang ahli filsafat ingin melihat kehidupan, tidak dengan pandangan seorang saintis, seorang pengusaha atau seorang seniman, akan tetapi dengan pandangan yang menyeluruh, mengatasi pandangan-pandangan yang parsial. 3
Dalam membicarakan filsafat spekulatif (speculative philosophy) yang dibedakan dari filsafat kritik (critical philosophy), C.D. Broad mengatakan: "maksud dari filsafat spekulatif adalah untuk mengambil alih hasil-hasil sains yang bermacam-macam, dan menambahnya dengan hasil pengalaman keagamaan dan budi pekerti. Dengan cara ini diharapkan akan dapat sampai pada suatu kesimpulan tentang watak alam ini serta kedudukan dan prospek manusia di dalamnya". Tugas dari filsafat adalah untuk memberikan pandangan dari keseluruhan, kehidupan, dan pandangan tentang alam, dan untuk mengintegrasikan pengetahuan sains dengan pengetahuan disiplin-disipllin lain agar mendapatkan suatu keseluruhan yang konsisten. Menurut pandangan ini, filsafat berusaha membawa hasil penyelidikan manusia --keagamaan, sejarah, dan keilmuan-- kepada suatu pandangan yang terpadu, sehingga dapat memberi pengetahuan dan pandangan yang mendalam bagi kehidupan manusia. Keempat, filsafat adalah sebagai analisa logis dari bahasa serta penjelasan tentang arti kata dan konsep. Memang ini merupakan fungsi filsafat. Hampir semua ahli filsafat telah memakai metoda analisa serta berusaha untuk menjelaskan arti istilah-istilah dan pemakaian bahasa. Tetapi ada sekelompok ahli filsafat yang menganggap hal tersebut sebagai tugas pokok dari filsafat bahkan ada golongan kecil yang menganggap hal tersebut sebagai satu-satunya fungsi yang sah dari filsafat. Kelompok ini menganggap filsafat sebagai suatu bidang khusus yang mengabdi kepada sains dan membantu menjelaskan bahasa, dan bukannya suatu bidang yang luas yang memikirkan segala pengalaman kehidupan. Pandangan seperti ini merupakan hal baru dan telah memperoleh dukungan yang besar pada abad ke-20. Pandangan ini akan membatasi apa yang dinamakan pengetahuan (knowledge) kepada pernyataan (statement) tentang fakta-fakta yang dapat dilihat serta hubungan-hubungan antara keduanya, yakni urusan sains yang beraneka macam. Memang ahli-ahli analisis bahasa (linguistic analysis) tidak membatasi pengetahuan sesempit itu. Memang betul mereka itu menolak dan berusaha untuk membersihkan bermacam-macam pernyataan yang non-ilmiah (non scientific), akan tetapi banyak di antara mereka yang berpendapat bahwa manusia dapat memiliki pengetahuan tentang prinsip-prinsip etika dan sebagainya yang dihasilkan dari pengalaman. Mereka yang memilih pandangan yang lebih sempit, mengabaikan, walaupun tidak mengingkari, semua pandangan yang menyeluruh tentang dunia kehidupan, tentang filsafat moral yang tradisional dan teologi. Dari segi pandangan yang lebih sempit ini tujuan filsafat adalah untuk menonjolkan "kebauran dan omong kosong" serta untuk menjelaskan arti dan pemakaian istilah-istilah dalam sains dan urusan sehari-hari.
Kelima, filsafat adalah sekumpulan probema-problema yang langsung yang mendapat perhatian dari manusia dan yang dicarikan jawabannya oleh ahli-ahli filsafat. Filsafat mendorong penyelidikannya sampai kepada soal-soal yang 4
paling mendalam dari eksistensi manusia. Sebagian dari soal-soal filsafat pada zaman dahulu telah terjawab dengan jawaban yang memuaskan kebanyakan ahli filsafat. Sebagai contoh, adanya ide bawaan telah diingkari orang semenjak zamannya John Locke abad ke-17. Walaupun begitu, banyak soal yang sudah terjawab hanya untuk sementara, dan ada juga problema-problema yang belum terjawab. Apakah soal-soal kefilsafatan itu? Soal-soal kefilsafatan adalah berkenaan dengan persoalan yang mendasar dalam kehidupan manusia. Misalnya, apakah kebenaran itu?, Apakah bedanya antara yang benar dan yang salah?, Apakah kehidupan itu?, Untuk apa manusia hidup?, Mau kemana akhir dari kehidupan ini?, dan seterusnya. Semua soal itu adalah falsafi. Usaha untuk mendapatkan jawaban atau pemecahan masalah terhadapnya telah menimbulkan teori dan sistem pemikiran seperti idealisme, realisme, pragmatisme, filsafat analitik, eksistensialisme, dan fenomenologis. Filsafat juga berarti bermacam-macam teori dan sistem pemikiran yang dikembangkan oleh para filosof besar seperti Socrates, Plato, Aristoteles, Augustine, Thomas Aquinas, Descartes, dan seterusnya. Metodologi Filsafat Oleh karena filsafat berangkat dari rasa heran, bertanya, dan memikirkan tentang asumsi-asumsi yang fundamental, maka diperlukan untuk meneliti bagaimana filsafat itu menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Problema-problema filsafat tidak dapat dipecahkan dengan sekedar mengumpulkan fakta-fakta. Untuk mencapai tujuan tersebut, metoda dasar untuk penyelidikan filsafat adalah metoda dialektika. Filsafat berlangsug dengan mengikuti dialektika argumentasi. Istilah dialektika menunjukkan proses berpikir yang berasal dari Socrates. Menurut Socrates, cara yang paling baik untuk mendapatkan pengetahuan yang diandalkan adalah dengan melakukan pembicaraan yang teratur (disciplined conversation) dengan memainkan peranan seorang intellectual midwife (orang yang memberi dorongan atau rangsangan kepada seseorang untuk melahirkan pengetahuan yang terpendam dalam pikiran). Metoda yang dipakai Socrates dinamakan dialektika. Proses dialektika adalah dialog antara dua pendirian yang bertentangan. Socrates dan filosof-filosof yang datang kemudian berkeyakinan bahwa dengan proses dialog di mana setiap peserta dalam pembicaraan akan terpaksa untuk menjelaskan idenya. Hasil terakhir dari pembicaraan tersebut akan merupakan pernyataan tentang apa yang dimaksudkan. Hal penting adalah bahwa dialektika itu merupakan perkembangan pemikiran dengan memakai pertemuan (interplay) antar ide.
Pemikiran dialektika atau metoda dialektika berusaha untuk mengembang-kan suatu contoh argumen yang di dalamnya terjalin implikasi bermacam-macam proses (sikap) yang saling mempengaruhi. Argumen tersebut akan menunjukkan bahwa tiap-tiap proses (sikap) tidak menyajikan pemahaman yang sempurna 5
tentang kebenaran. Dengan begitu timbullah pandangan dan alternatif yang baru. Tiap tahap dar dialektika akan memasuki lebih dalam kepada problema asli, dan dengan begitu ada kemungkinan untuk lebih mendekati kebenaran. Dengan menggunakan netoda dialektika akan lebih mendekati kebenaran, akan tetapi sesungguhnya tidak jarang problema filsafat yang semula belum juga terpecahkan. Masih banyak soal-soal yang dikemukakan serta argumentasi yang ditentang. Dengan metoda dialektika setidaknya akan sampai kepada pemecahan sementara, ada jawaban-jawaban yang tampak lebih memuaskan, tetapi ada juga jawaban yang harus dibuang. Cabang-cabang Tradisional dari Filsafat Menurut sejarah, persoalan-persoalan filsafat telah dibahas dalam kategori-kategori berikut: logika, metafisika, epistemologi, dan etika. LOGIKA Filsafat berusaha untuk memahami watak dari pemikiran yang benar dan mengungkapkan cara berpikir yang sehat. Satu hal yang dijumpai dalam seluruh sejarah filsafat adalah ajakannya kepada akal, argumentasi, dan logika. Setiap orang menggunakan argumentasi untuk menopang pendapat atau membedakan antara argumentasi yang benar dan yang salah. Tetapi bagaimana membedakan antara argumentasi yang benar dan yang salah? Pada dasarnya, suatu argumentasi merupakan seba-sebab (premise/Inggris atau muqaddimah/Arab) untuk menguatkan atau menolak suatu posisi (conclusion/Inggris atau natijah/Arab). Logika atau mantik adalah pengkajian yang sistematis tentang aturan-aturan untuk menguatkan sebab-sebab yang mengenai konklusi; aturan-aturan itu dapat dipakai untuk membedakan argumen yang baik dari argumen yang tidak baik. Argumentasi dan dialektika merupakan alat atau instrumen yang sangat perlu bagi ahli filsafat. Argumentasi harus mempunyai dasar yang sehat dan masuk akal. Tugas untuk menciptakan ukuran untuk menetapkan manakah argumen yang benar (valid) dan yang tidak benar adalah termasuk dalam cabang filsafat yang dinamakan logika. Kemampuan untuk memeriksa sesuatu argumen dari segi konsistensi logika, untuk mengetahui akibat-akibat logis dari asumsi-asumsi, dan untuk menentukan kebenaran sesuatu bukti yang dipakai oleh seorang filosof adalah sangat penting untuk berfilsafat. METAFISIKA
Bagi Aristoteles, istilah metafisika berarti filsafat pertama (fisrt philosophy), yaitu pembicaraan tentang prinsip-prinsip yang paling universal. Istilah tersebut mempunyai arti sesuatu yang di luar kebiasaan (beyond nature). 6
Metafisik membicarakan watak yang sangat mendasar (ultimate) dari benda, atau realitas yang berada di belakang pengalaman yang langsung (immediate experience). Tidak dapat diragukan lagi bahwa istilah metafisik adalah cabang filsafat yang sangat sukar dipahami. Metafisik berusaha untuk menyajikan pandangan-pandangan yang komprehensif tentang segala yang ada; ia membicarakan problema seperti hubungan antara akal dan benda, hakekat perubahan, arti kemerdekaan, kemauan, wujud Tuhan, dan kehidupan setelah mati. EPISTEMOLOGI Secara umum epistemologi adalah cabang filsafat yang mengkaji sumber-sumber, watak, dan kebenaran pengetahuan. Apakah yang dapat diketahui oleh akal manusia?; Dari manakah kita memperoleh pengetahuan?; Apakah kita memiliki pengetahuan yang dapat diandalkan?; Apakah kemampuan kita terbatas dalam mengetahui fakta pengalaman indera, atau apakah kita dapat mengetahui lebih jauh dari apa yang diungkapkan oleh indera? Istilah untuk nama teori pengetahuan adalah epistemologi, yang berasal dari kata Yunani episteme (pengetahuan). Ada tiga pokok persoalan dalam bidang ini, yaitu:
(1) Apakah sumber-sumber pengetahuan? Dari mana pengetahuan yang benar itu datang, dan bagaimana kita dapat mengetahui? Ini semua adalah problema asal (origins).
(2) Apakah watak dari pengetahuan? Adakah dunia yang riil di luar akal, dan kalau ada, dapatkah kita mengetahui? Ini semua adalah problema penampilan (appearance) terhadap realitas.
(3) Apakah pengetahuan kita itu benar (valid)? Bagaimana kita membedakan antara kebenaran dan kekeliruan? Ini adalah problema mencoba kebenaran (verification).

Dalam tradisi filsafat, kebanyakan dari para filosof yang telah mengemuka-kan jawaban terhadap persoalan-persoalan tersebut dapat dikelompokkan dalam salah satu dari dua aliran: rasionalisme atau empirisme. Kelompok rasionalis berpendapat bahwa akal manusia sendiri tanpa bantuan lain, dapat mengungkapkan prinsip-prinsip pokok dari alam. Kelompok empiris berpendapat bahwa semua pengetahuan itu pada dasarnya datang dari pengalaman indra, dan oleh karena itu pengetahuan seseorang terbatas pada hal-hal yang hanya dapat dialami. ETIKA
Dalam arti yang luas, etika adalah pengkajian soal moralitas. Apakah yang benar, dan apakah yang salah dalam hubungan antar manusia? Dalam moralitas 7
dan etika ada tiga bidang yang besar: etika deskriptif (descriptive ethics), etika normatif (normative ethics), dan metaetika (metaethics). Etika deskriptif berusaha untuk menjelaskan pengalaman moral dengan cara deskkriptif. Etika deskriptif berusaha untuk mengetahui motivasi, kemauan, dan tujuan sesuatu tindakan dalam kelakuan manusia. Etika deskriptif berusaha untuk menyelidiki kelakuan perseorangan atau personal morality, kelakuan kelompok atau social morality, serta contoh-contoh kenudayaan dari kelompok nasional atau rasial. Etika deskriptif merupakan suatu usaha untuk membedakan apa yang ada dan apa yang harus ada. Tingkatan kedua dari penyelidikan etika adalah etika normatif (apa yang harus ada). Di sini para filosof berusaha merumuskan perimbangan (judgment) yang dapat diterima tentang apa yang harus ada dalam pilihan dan penilaian. "Kamu harus memenuhi janjimu" dan "Kamu harus menjadi orang terhormat" adalah contoh dari penilaian (judgment) yang normatif (keharusan). Keharusan moral (moral ought) merupakan subject mater, bahan pokok dalam etika. Sejak jaman Yunani Purba, para filosof telah merumuskan prinsip-prinsip penjelasan untuk menyelidiki mengapa manusia bertindak seperti yang mereka lakukan, dan apakah prinsip-prinsip kehidupan mereka. Pernyataan prinsip-prinsip tersebut dinamakan teori-teori etika. Tingkatan ketiga adalah metaetika atau critical ethics. Di sini perhatian orang dipusatkan kepada analisa, arti istilah dan bahasa yang dipakai dalam pembicaraan etika, serta cara berpikir yang dipakai untuk membenarkan pernyataan-pernyataan etika. Metaetika tidak menganjurkan sesuatu prinsip atau tujuan moral, kecuali dengan cara implikasi; metaetika seluruhnya terdiri atas analisa falsafi. Apakah arti baik (good)?, dan apakah penilaian moral dapat dibenarkan?, dan adakah problema-problema khas dalam metaetika? Philip Wheelwright telah menulis definisi etika yang jelas dan tepat tentang etika. Etika dapat dibatasi sebagai cabang filsafat yang merupakan pengkajian sistematis tentang pilihan reflektif, ukuran kebenaran, dan kesalahan yang membimbingnya, atau hal-hal yang bagus yang pilihan reflektif harus diarakan kepadanya.





















PENDIDIKAN: HAKEKAT, TUJUAN, DAN PROSES
Yuli Sectio Rini
Jurusan Pendidikan Seni Tari
y_sectio@uny.ac.id
Abstrak
Pendidikan adalah segala daya upaya dan semua usaha untuk membuat masyarakat
dapat mengembangkan potensi manusia agar memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, berkepribadian, memiliki kecerdasan, berakhlak mulia, serta memiliki
keterampilan yang diperlukan sebagai anggota masyarakat dan warga negara. Di samping itu
pendidikan merupakan usaha untuk membentuk manusia yang utuh lahir dan batin cerdas,
sehat, dan berbudi pekerti luhur.
Pendidikan mampu membentuk kepribadian melalui pendidikan lingkungan yang
bisa dipelajari baik secara sengaja maupun tidak. Pendidikan juga mampu membentuk
manusia itu memiliki disiplin, pantang menyerah, tidak sombong, menghargai orang lain,
bertaqwa, dan kreatif, serta mandiri.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pendidikan baik sengaja maupun tidak,
akan mampu membentuk kepribadian manusia yang matang dan wibawa secara lahir dan
batin, menyangkut keimanan, ketakwaan, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan bertanggung jawab.
Kata kunci: Pendidikan dan seni tari.
PENDIDIKAN: HAKEKAT, TUJUAN, DAN PROSES
Yuli Sectio Rini
Pendidikan Seni Tari
y_sectio@uny.ac.id
I. PENDAHULUAN
Manusia tidak bisa lepas dari pendidikan. Pendidikan merupakan salah satu sektor
penting dalam pembangunan di setiap negara. Menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2003
tentang Sisdiknas dalam pasal 1 disebutkan bahwa pendidikan merupakan usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, mengembangkan segala potensi yang dimiliki peserta didik melalui
proses pembelajaran. Dalam pasal 4 dijelaskan bahwa peserta didik adalah anggota
masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang
tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu.
Dengan demikian pendidikan adalah segala daya upaya dan semua usaha untuk
membuat masyarakat dapat mengembangkan potensi peserta didik agar memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, berkepribadian, memiliki kecerdasan, berakhlak
mulia, serta memiliki keterampilan yang diperlukan sebagai anggota masyarakat dan warga
negara.
Bendara Raden Tumenggung Harya Suwardi Soerjaningrat yang lebih dikenal dengan
nama Ki Hadjar Dewantara (1961: 2) mengatakan dalam bukunya bahwa usaha-usaha
pendidikan (tari) ditujukan pada (a) halusnya budi, (b) cerdasnya otak dan (c) sehatnya
badan. Ketiga usaha itu akan menjadikan lengkap dan laras bagi manusia. Dengan demikian
pendidikan merupakan usaha untuk membentuk manusia yang utuh lahir dan batin, yaitu
cerdas, sehat, dan berbudi pekerti luhur. Ki Hadjar Dewantara juga menegaskan bahwa
pendidik harus memiliki konsep 3 kesatuan sikap yang utuh, yakni ing ngarsa sung tuladha,
ing madya mangun karsa, dan tut wuri handayani. Pengertiannya, bahwa sebagai pendidik
harus mampu menjadi tauladan bagi peserta didiknya, pendidik juga mampu menjaga
keseimbangan, juga dapat mendorong, dan memberikan motivasi bagi peserta didiknya.
Trilogi pendidikan ini diserap sebagai konsep “kepemimpinan Pancasila”.
Menurut Syah dalam Chandra (2009: 33) dikatakan bahwa pendidikan berasal dari kata
dasar “didik” yang mempunyai arti memelihara dan memberi latihan. Kedua hal tersebut
memerlukan adanya ajaran, tuntunan, dan pimpinan tentang kecerdasan pikiran. Pengertian
pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan perilaku seseorang atau sekelompok orang
dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Dengan
melihat definisi tersebut, sebagian orang mengartikan bahwa pendidikan adalah pengajaran
karena pendidikan pada umumnya membutuhkan pengajaran dan setiap orang berkewajiban
mendidik. Secara sempit mengajar adalah kegiatan secara formal menyampaikan materi
pelajaran sehingga peserta didik menguasai materi ajar.
Dalam konsep tradisional Jawa, teori pendidikan dikemukakan lewat syair tembang
Pocung (Lagu Jawa), yang berbunyi sebagai berikut:
Ngelmu iku
Saranane kanthi laku
Lekase lawan kas
Tegese kas nyantosani
Setya bodya penekese dur angkara
(Ilmu itu
Mencarinya dengan berusaha secara tulus
Niat (mencari ilmu) dengan tekad yang bulat dan kokoh
Maksud kata “kas” adalah dorongan kekuatan iman (kebulatan tekad)
di dalam mecari ilmu
Sesungguhnya usaha ini berfungsi untuk menahan hawa nafsu)
Dari konsep tersebut menjelaskan bahwa pendidikan itu penting artinya bagi kehidupan
manusia, baik berfungsi bagi pendewasaan manusia secara lahiriah dan batiniah maupun
pendewasaan bagi sikap dan perilaku yang menuju pada cita-cita manusia “ideal” atau
manusia “utama”. Berikut ini juga pendidikan dalam salah satu syair pada tembang Sinom:
Nuladha laku utama,
Tumraping wong tanah Jawi
Wong agung ing Ngeksiganda
Panembahan Senapati
Kepati amarsudi
Sudanen hawa lan nepsu
Pinesu tapa brata
Tanapi ing siang ratri
Amemangun karyanak tyas ing sasama
(Mencontoh perilaku yang utama
Untuk orang di tanah Jawa
Wong Agung di Ngeksiganda
Panembahan Senopati
Sampai mati mencari
Kurangilah keinginan dan nafsu
Sesungguhi semedi
Tiap siang dan malam hari
Membuat harmonis kehidupan hati semua orang).
Dua tembang di atas sudah bisa untuk memberi pengertian bahwa pendidikan itu
sangat penting dan diperlukan oleh manusia. Pendidikan itu sangat luas, dapat berupa ilmu,
dapat berupa pergaulan dengan sesama, dapat dengan membuat orang lain senang.
Kekokohan dalam mencari ilmu adalah bukti bahwa ilmu itu memang sangat penting bagi
kehidupan manusia. Apalagi sekarang ini kehidupan sudah beraneka ragam kebutuhannya
sebagai akibat dari globalisasi.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pendidikan sangat luas bisa secara formal
lewat lembaga - dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi - dan pendidikan juga bisa
diperoleh dari dalam lingkungan baik keluarga maupun maupun masyarakat.
II. HAKEKAT PENDIDIKAN
Secara formal pendidikan itu dilaksanakan sejak usia dini sampai perguruan tinggi.
Adapun secara hakiki pendidikan dilakukan seumur hidup sejak lahir hingga dewasa. Waktu
kecil pun dalam UU 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas pendidikan anak usia dini yang nota
bene anak-anak kecil sudah didasari dengan pendidikan yang mengajarkan nilai-nilai moral
yang baik agar dapat membentuk kepribadian dan potensi diri sesuai dengan perkembangan
anak. Dalam PP 27 tahun 1990 bab 1 pasal 1 ayat 2, disebutkan bahwa sekolah untuk peserta
didik yang masih kecil adalah salah satu bentuk pendidikan pra sekolah yang menyediakan
program pendidikan dini bagi anak usia 4 tahun sampai memasuki pendidikan dasar
(Harianti, 1996: 12). Di samping itu terdapat 6 fungsi pendidikan (Depdiknas 2004: 4), yaitu:
· Mengenalkan peraturan dan menanamkan disiplin kepada anak.
· Mengenalkan anak pada dunia sekitarnya.
· Menumbuhkan sikap dan perilaku yang baik.
· Mengembangkan kemampuan berkomunikasi dan bersosialisasi.
· Mengembang ketrampilan, kreativitas, dan kemampuan yang dimiliki anak.
· Menyiapkan anak untuk memasuki pendidikan dasar.
Dari beberapa uraian di atas inilah, maka pendidikan yang menanamkan nilai-nilai
positif akan tepat dimulai ketika anak usia dini. Dengan demikian pendidikan bagi peserta
didik yang masih kecil merupakan landasan yang tepat sebelum masuk pada pendidikan yang
lebih tinggi. Pendidikan anak usia dini merupakan pendidikan awal yang sesuai dengan
tujuan untuk mengembangkan sosialisasi anak, menumbuhkan kemampuan sesuai dengan
perkembangannya, mengenalkan lingkungan kepada anak, serta menanamkan disiplin, karena
secara tidak langsung dapat menanamkan atau mentransfer nilai-nilai moral dan nilai sosial
kepada anak. Jadi dari uraian konsep pendidikan seperti tersebut dalam pendahuluan, dapat
dipahami makna dan kepentingan pendidikan secara hakiki bagi manusia. Pendidikan bagi
manusia dapat diuraikan sebagai berikut.
A. Manusia sebagai makhluk Tuhan.
Manusia adalah makhluk Allah yang paling sempurna. Manusia lahir dalam keadaan
lemah, tidak berdaya apa-apa. Oleh karena ketidak berdayaan ini, manusia membutuhkan
bantuan, mulai dari kebutuhan fisik/biologis seperti makan, minum, berjalan, berbicara, dan
lain sebagainya sampai pada kebutuhan rohaniah seperti kesenangan, kepuasan, dan lain
sebagainya. Dari ketidak berdayaan ini inilah lalu manusia berusaha dengan menggunakan
akal dan pikirannya. Manusia menggunakan lingkungan sebagai ajang belajar. Akhirnya
dengan pendidikan manusia mempelajari lingkungannya. Dengan pendidikan manusia
menjadi “berdaya” atau “mampu”. Manusia menggunakan akalnya seperti yang dikatakan
oleh Cassirer bahwa manusia itu mengguanakan akalnya. Manusia adalah makhluk yang
berakal. Bahkan karena akalnya itu, Ernst Cassirer seorang filsuf dalam bukunya An Essay on
Man (1944) menekankan bahwa manusia adalah animal symbolicum yang artinya manusia
adalah binatang bersimbol. Untuk membedakan manusia dengan binatang, terletak pada
kemampuan akal manusia yaitu dengan menciptakan simbol-simbol dan tanda-tanda bagi
komunitasnya
Van Baal (1987:17) juga mengatakan bahwa sesuatu yang menjadi milik manusia
itu diperoleh dengan dua cara: Pertama, secara umum untuk menunjukkan segala
sesuatunya dengan belajar. Van Baal mengatakan bahwa manusia memperoleh dengan
cara belajar dan pengembangannya dalam pengetahuan, kelembagaan, kebiasaan,
keterampilan dan seterusnya. Kedua, sebagai suatu istilah yang mencakup kesemuanya
untuk menunjukkan bentuk kehidupan secara total dari para anggota suatu kelompok
tertentu
Hal demikian juga seperti dikatakan oleh Kuntjaraningrat bahwa manusia itu
memperoleh segala sesuatunya dengan belajar. Ia mengatakan bahwa segala sesuatu yang
menjadi milik manusia itu diperoleh dengan belajar. Koentjaraningrat (1996:72) yang dikenal
sebagai bapak kebudayaan menyatakan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan sistem
gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang
dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Kata belajar inilah menjelaskan bahwa sejak
lahir sampai dewasa manusia selalu belajar dari lingkungannya. Meski dia tokoh kebudayaan,
tetapi karena pendidikan pun bersifat luas dan milik manusia, maka apa yang dialami
manusia yang diperoleh dengan belajar adalah juga pendidikan.
B. Manusia memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Sebagai makhluk sosial dan juga sebagai makhluk individu, manusia memiliki
kelebihan dan kekurangan masing-masing. Manusia akan membagi kelebihannya dengan
manusia lain, sedangkan sebagai makhluk individual manusia butuh mencukupi kekurangan
pada dirinya. Sebagai makhluk sosial pula, manusia berhubungan dengan banyak orang. Ia
akan belajar dari manusia dan juga alam di sekelilingnya. Kemudian yang berada di
sekelilingnya itu akan diserap ke dalam otaknya dan akan menjadi miliknya. Dengan
demikian manusia akan belajar dari lingkungannya. Masing-masing manusia yang
ditemuinya ada yang memiliki kelebihan dan ada yang memiliki kekurangan.
C. Manusia secara kodrati memiliki potensi yang dibawa sejak lahir.
Sebagai manusia ia juga memiliki kemampuan yang dibawa sejak lahir. Kemampuan
atau potensi ini menurut ilmu jiwa disebut bakat (talent). Bakat sejak lahir itu perlu
pemupukan dari lingkungannya terutama keluarga. Oleh karena sebagai manusia memiliki
kekurangan maka untuk mengembangkan bakat ini dibutuhkan juga pendidikan. Potensi yang
dimaksud adalah kemampuan seperti diungkapkan dalam Undang-undang 20 tahun 2003
tentang pendidikan. Dalam pasal 1 ayat 4 dijelaskan bahwa peserta didik adalah anggota
masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang
tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu (UU No. 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional). Peserta didik itu juga manusia, maka dapat dikatakan bahwa
manusia itu dalam mengembangkan potensinya juga membutuhkan pendidikan. Apalagi jika
potensi itu dari lahir yang disebut bakat (talent).
D. Manusia merupakan suatu proses.
Manusia itu sejak lahir sampai dewasa mengalami suatu “proses”. Proses yang panjang
ini dilalui dengan pendidikan, yaitu dengan memperoleh “nilai” yang diperoleh dari
masyarakatnya. Masyarakat keluarga, masyarakat sekolah, masyarakat tempatnya bekerja,
dan masyarakat tempat manusia itu bergaul. Secara holistik, nilai ini diraih dalam rangka
“memanusiakan” dirinya. Pernyataan bahwa pendidikan itu dialami manusia sejak lahir
hingga dewasa, hal tersebut mengisyaratkan bahwa pendidikan itu dimulai sejak kecil hingga
dewasa.
Maka jika dari kecil sudah diberi pendidikan seperti tersebut di atas, dan selama hidup,
lingkungannya juga membentuk manusia lahir dan batinnya, maka ketika dewasa pun akan
membentuk karakter. Oleh karena itu dapat disebutkan bahwa manusia adalah suatu proses.
E. Manusia sebagai makhluk individu.
Manusia hidup sebagai dirinya sendiri. Dalam mengarungi hidupnya bagaikan “orang
buta yang berjalan di tengah hutan pada malam hari musim hujan”. Ia tidak tahu dirinya,
bahkan tidak kenal dengan dirinya sendiri. Oleh karena itu, manusia melakukan upaya
menemukan jati dirinya. Upaya-upaya ini dilakukan dengan belajar dari lingkungannya yaitu
dengan pendidikan yang dilakukannya dalam jangka waktu yang tidak ada batasnya, yaitu
sepanjang hayat di kandung badan, sepanjang hidupnya. Jati diri manusia adalah
“kematangan” atau “kedewasaan”. Yang dimaksud adalah matang secara ragawi, matang
secara rohani, matang intelektual. Di samping itu juga matang dalam berhubungan baik
secara horizontal (hubungan antar manusia dengan manusia dan alam lingkungan) maupun
hubungan vertikal (hubungan manusia dengan Tuhannya). Penemuan “jati diri” yang benar
inilah yang akan menobatkan manusianya sebagai manusia.
Berikut adalah skema mengenai hakekat pendidikan seperti tergambar di bawah ini:
Hakekat Pendidikan
Dari uraian dan tabel di atas, dapat disimpulkan bahwa hakekat pendidikan adalah
pendidikan untuk manusia dan dapat diperoleh selama manusia lahir hingga dewasa.
1. Manusia mengusahakan proses yang terus menerus. Manusia melakukan rekonstruksi
pengalaman dan sekaligus merupakan proses pertumbuhan yang mengarah ke
pertumbuhan selanjutnya. Hal ini disebut proses of continues reconstruction of expressi.
2. Relevansi tersebut merupakan tuntutan sejak kecil, remaja, hingga dewasa. Masa
relevansi juga sejak di pendidikan dasar sampai perguruan tinggi, dan masa dunia kerja.
Masa relevansi itu terus menerus secara kontinuitas.
3. Masa penyesuaian diri adalah masa fleksibilitas luwes yang disesuaikan dengan
kebutuhan diri pada masanya. Artinya manusia harus bisa dan mampu serta mau
menyesuaikan dengan keadaan lingkungannya. Lingkungan keluarga, sekolah,
masyarakat, desa, kota. Manusia juga harus menyesuaikan diri dengan segala situasinya,
berpendidikan ataukah kurang perpendidikan, miskin atau kaya. Di samping itu juga ia
harus menyesuaikan diri dengan tempat atau penyesuaiakan diri secara geografis.
4. Cita-cita manusia itu harus sesuai dengan tanggung jawab manusia dan pendidikannya,
baik pendidikan formal maupun pendidikan masyaraka/lingkungan.
· Manusia terlahir
dengan ketidakberdayaan
· Manusia memiliki
kelebihan dan
kekurangan
· Manusia memiliki
potensi yang
seharusnya dapat
berkembang tetapi
punya kelemahan
· Proses
memanusia-kan
dirinya sendiri
sebagai manusia
· Pendidikan
sepanjang hayat
· Pemenuhan jati
diri meliputi:
kematangan
(kedewasaan)
biologis,
psikologis,
paedagogis dan
sosiologis.
5. Manusaia memiliki upaya sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui bimbingan
pengajaran agar menguasai kemampuan sesuai dengan peran yang harus dimainkan
manusia.
Hal seperti di atas adalah juga seperti yang dijelaskan Ki Hadjar Dewantara, bahwa
nilai yang diraih adalah manusia yang utuh lahir dan batinnya yaitu manusia yang cerdas,
sehat dan berbudi pekerti luhur.
III. TUJUAN PENDIDIKAN
Tujuan pendidikan itu juga ditanamkan sejak manusia masih dalam kandungan, lahir,
hingga dewasa yang sesuai dengan perkembangan dirinya. Ketika masih kecil pun
pendidikan sudah dituangkan dalam UU 20 Sisdiknas 2003, yaitu disebutkan bahwa pada
pendidikan anak usia dini bertujuan untuk mengembangkan kepribadian dan potensi diri
sesuai dengan tahap perkembangan peserta didik (Depdiknas 2003: 11).
Dengan demikian tujuan pendidikan juga mengalami perubahan menyesuaikan
dengan perkembangan manusia. Oleh karena pendidikan dialami sejak manusia lahir hingga
dewasa, maka tujuan pendidikan juga merupaka suatu proses. Proses “memanusiakan dirinya
sebagai manusia” merupakan makna yang hakiki di dalam pendidikan. Keberhasilan
pendidikan merupakan “cita-cita pendidikan hidup di dunia” (Dalam agama ditegaskan juga
bahwa cita-cita “hidup” manusia adalah di akherat). Akan tetapi tidak selamanya manusia
menuai hasil dari proses yang diupayakan tersebut. Oleh karena itu, kadang proses itu
berhasil atau kadang pun tidak. Jadi dengan demikian dapat dikatakan bahwa “keberhasilan”
dari proses pendidikan secara makro tersebut merupakan tujuan.
Keberhasilan itu jug dipengaruhi oleh beberapa faktor. Hal ini mengingat bahwa
pendidikan itu ada tiga pilar yaitu pendidikan keluarga, pendidikan sekolah, dan pendidikan
masyarakat. Dalam pembentukan dan tujuan pendidikan yang berkaitan dengan pembentukan
watak, maka faktor keluarga sangat penting. Faktor orang tua sangat berpengaruh pada
pendidikan manusia sebagai peserta didik. Kesadaran orang tua makin meningkat mengenai
pentingnya pendidikan sebagai persiapan awal untuk membantu pencapaian keberhasilan
pendidikan selanjutnya. Persiapan awal tersebut menyangkut pencapaian perkembangan sehat
secara mental, emosi, dan sosial. Namun orang tua juga tidak sama. Seperti yag dikemukakan
berikut ini bahwa kadang orang tua belum memiliki pengetahuan dan keterampilan yang
memadai untuk membantu kesiapan anak untuk mengikuti pendidikan selanjutnya atau
perkembangan sehat mental, emosi, sosial, dan fisik anak (Sodiq A. Kuntoro, 1988: 1).
Dengan demikian keberhasilan pendidikan ini tidak serta merta dicapai begitu saja,
namun diperlukan persyaratan dan proses secara selektif. Untuk memperoleh keberhasilan di
dalam pendidikan tersebut diperlukan kesatuan dari tiga komponen keberhasilan pendidikan.
Keberhasilan kesatuan dari tiga komponen itu menyangkut beberapa faktor.
1. Komponen pendidik:
Syarat utama pendidik adalah mampu sebagai sosok tauladan. Konsep pendidik
yang sekaligus pemimpin seperti yang diungkapkan oleh Ki Hadjar Dewantara di atas,
yakni ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani yang
semaksimal mungkin harus dipenuhi komponen pendidik. Jika konsep ini dipenuhi, maka
dalam diri pendidik tersebut akan memancarkan “aura” yang menyebabkan wibawa pada
dirinya. Di samping itu pendidik sebagai sosok yang digugu lan ditiru (diikuti dan ditiru)
akan menjadi bukti kebenarannya. Tidak kalah pentingnya dalam usaha memperoleh
keberhasilan ini adalah sikap pendidik yang ikhlas.
2. Komponen Peserta Didik
Manusian sebagai peserta didik adalah salah satu komponen penentu keberhasilan
pendidikan. Jika manusia sebagai peserta didik itu pasif, apatis, dan masa bodoh, maka
mustahil pendidikan akan memperoleh keberhasilan. Oleh karena itu, peserta didik
dituntut berperan aktif di dalam proses pendidikan. Peran aktif ini diwujudkan dalam
sikap taat pada pendidik, yaitu taat pada perintah maupun larangan pendidik. Taat pada
pendidikan ini dilakukan ada maupun tidak ada pendidik. Ada atau tidak adanya orang tua
maupun guru, ia akan tetap taat.
3. Komponen Pelaksanaan
Di dalam pelaksanaan pendidikan, manusia baik pendidik maupun peserta didik
harus dalam kondisi yang “bebas-demokratis”. Dalam suasana gembira dan saling
memahami. Pendidik didasari dengan niat yang tulus dan ikhlas memberikan ilmunya
kepada peserta didik. Demikian pula peserta didik juga selalu dalam niat yang ikhlas
untuk mencari dan menerima ilmu. Jika keduanya telah terjalin dalam hubungan yang
harmonis sama-sama ikhlas dan sama-sama dalam kondisi “bener tur pener” (benar
dalam kebenaran) maka ilmu yang didapat akan menjadi ilmu yang bermanfaat. Indikator
keberhasilan proses pendidikan ini adalah adanya perubahan nilai secara positif, dari tidak
tahu menjadi tahu, dari “tidak” menjadi “ya”, dari “buta” menjadi “melek” dari “faham”
menjadi “mahir” dan seterusnya.
Tujuan pendidikan disebut juga dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 dalam
pasal 3 adalah sebagai berikut “pendidikan bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab". Dalam tujuan pendidikan seperti tersebut tadi, terdapat
beberapa kata kunci antara lain iman dan takwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan demokratis. Konsekuensinya adalah kriteria atau bisa juga disebut
sebagai evaluasi pendidikan yang diterapkan harus mampu melihat sejauh mana ketercapaian
setiap hal yang disebutkan dalam tujuan tersebut. Evaluasi harus mampu mengukur tingkat
pencapaian setiap komponen yang tertuang dalam tujuan pendidikan yaitu tertuang dalam
Undang-Undang No. 20 tahun 2003. Dari penjelasan tersebut tampak sinkron antara konsep
pendidikan yang dituangkan oleh pemerintah dengan konsep pendidikan masyarakat.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hakekat pendidikan dan tujuan
pendidikan adalah bahwa pendidikan seumur hidup sejak manusia lahir sampai dewasa, baik
itu pendidikan formal dari kecil hingga perguruan tinggi, maupun pendidik di lingkungan
masyarakat atau di tempat dia tinggal. Tujuan pendidikan itu juga untuk menciptakan
manusia yang matang dan wibawa secara lahir dan batin, menyangkut keimanan, ketakwaan,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan bertanggung jawab.
Pendidik
Berwibawa
Peserta didik
Berperan aktif
Pelaksanaan
Bebas,
demokratis
KEBERHASILAN
PENDIDIKAN
DAFTAR PUSTAKA
Arieh Lewy (Editor). 1977. Handbook of Curriculum Evaluation. Paris:
International Institute for Educational Planning
Cassirer, Ernst. 1944. An Essay on Man. Terjemahan Manusia. New Faven.
Chandra,: Fransisca. 2009. “Peran Partisipasi Kegiatan di Alam Masa anak, Pendidikan dan
Jenis Kelamin sebagai Moderasi Terhadap Perilaku Ramah Lingkungan”. Disertasi
S3. Program Magister Psikologi Fakultas Psikologi. Unversita Gadjah Mada
Yogyakarta.
Departemen Pendidikan Nasional (2004). Kurikulum 2004. Standard Kompetensi Taman
Kanak-kanak dan Raudatul Athfal. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan TK dan
SD.
Dewantara, Ki Hadjar. 1961. Karya Ki Hadjar. Yogyakarta: Taman Siswa.
Koentjaraningrat. 1996. Pengantar Antopologi I. Jakarta: Rineka Putra.
Kuntoro, Sodiq A. 1988. “Hubungan antara beberapa Faktor Guru, Strategi, Intruksional, dan
Hasil Belajar Siswa taman Kanak-kanak”. Disertasi S3. Fakultas Pasca Sarjana
Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Jakarta. Maret 1988.
Pusat Pengembangan Kurikulum. 2003. Kurikulum 2004 Kerangka Dasar (draft). Jakarta:
Departemen Pendidikan Nasional
Satmoko, Retno Sriningsih. 2000. Landasan Kependidikan, Pengantar ke arah ilmu
Pendidikan Pancasila. Semarang: IKIP Semarang Press.
Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Van Baal, J. 1987. Sejarah dan Pertumbuhannya: Teori Antopologi Budaya. Jakarta:
Gramedia. Jilid 1.
__________. 1988. Sejarah dan Pertumbuhannya: Teori Antopologi Budaya. Hingga Dekade
1970). Jilid 2. Jakarta: PT Gramedia.
BIODATA
Yuli Sectio Rini Lahir di Purwokerto, 14 Juli 1959. Bekerja UNY sejak 1986. Pendidikan S1
ISI Yogyakarta, S2 UGM. Ketika sedang penelitian untuk S3, terpaksa mundur dulu karena
sakit pendarahan otak, bahkan dibebaskan mengajar selama 1 semester di tahun 2012.
Semangat untuk sembuh dan melanjutkan studi yang tertunda dilakukan dengan menulis
makalah, menulis buku, mengikuti penelitian, membuat karya seni. Selain mengajar di FBS
UNY, ia juga pernah mengajar di FIP, PPPGK, UT, dan UIN. Pernah menjadi Sekjur dan
Ketua Jurusan. Kegiatan sekarang adalah mengajar, bimbingan mahasiswa, penelitian,
penulisan, workshop, puisi, dan menjadi juri beberapa even regional dan nasional. Kegiatan
terbaru adalah workshop danceability untuk siswa berkebutuhan khusus, workshop tari
flamenco dari Spanyol, dan seminar nasional di UNJ, dan workshop kurikulum 2013, dan
penulisan

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ziarah Bagi Masyarakat Pendatang ( Banten Lama )

PENGANTAR ILMU SOSIAL(ILMU EKONOMI)

BUDAYA DI BANTEN