mochamad hamzah mawalidi,"FILSAFAT" di kutip dari Yuli Sectio Rini
BAB I PENGERTIAN FILSAFAT (Bahan Pertemuan Ke-2)
Apakah Filsafat itu? Seorang yang
berfilsafat digambarkan oleh Jujun S. Suriasumantri seperti orang yang berpijak
di bumi sedang tengadah memandang bintang-bintang di langit, dia ingin
mengetahui hakekat dirinya dalam kesemestaan galaksi. Seorang yang
berdiri di puncak bukit, memandang ke ngarai dan lembah di bawahnya, dia ingin menyimak
kehadirannya dengan kesemestaan yang ditatapnya (Jujun Sriasumantri, 1996:
2). Seperti juga yang digambarkan oleh Harold H. Titus dan kawan-kawan, ketika
ada pertanyaan seorang bocah berumur empat tahun yang menanyakan soal-soal luar
biasa yang keluar dari mulutnya. Ia menanyakan "bagaimana dunia ini
bermula?", atau "benda-benda itu itu terbuat dari apa?",
atau "apa yang terjadi pada seseorang jika ia mati?" (Harold
H. Titus dkk., 1984: 5). Gambaran dan pertanyaan-pertanyaan di atas akan
membawa, menuntun, dan mengantarkan seseorang pada dunia pemikiran yang
sangat mendasar dan substansial. Ketika seseorang memikirkan dan berusaha
menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, tanpa disadarinya bahwa ia sedang
berfilsafat. Menurut Titus, kita semua mempunyai ide-ide tentang
benda-benda, tentang sejarah, arti kehidupan, mati, Tuhan, baik dan buruk,
benar dan salah, keindahan dan kejelekan, dan sebagainya (Harold H. Titus
dkk., 1984: 10-11). Untuk bisa mengetahui dan menjelaskan hakekat hal-hal
tersebut, dibutuhkan suatu pemikiran dan perenungan, yang dapat disebut
sebagai berpikir filsafati. Pertanyaannya adalah apakah yang dimaksud dengan
berpikir filsafati tersebut? Kata filosofi (philosophy) berasal dari
perkataan Yunani philos (suka, cinta) dan sophia (kebijaksanaan).
Jadi kata filosofi berarti cinta kepada kebijaksanaan. Suatu definisi filsafat
dapat diberikan dari berbagai pandangan. Berikut ini dapat dicermati beberpa
definisi filsafat. Pertama, filsafat adalah sekumpulan sikap dan
kepercayaan terhadap kehidupan dan alam yang biasanya diterima secara tidak
kritis. Definisi ini merupakan arti yang informal tentang filsafat atau kata-kata
"mempunyai filsafat", misalnya ketika seseorang berkata:
"Filsafat saya adalah...", ia menunjukkan sikapnya yang informal
terhadap apa yang dibicarakan.
Jika seseorang mengalami suatu
krisis atau pengalaman yang luar biasa, kemudian ditanyakan kepadanya:
"bagaimana pengaruh kejadian itu?", "bagaimana ia
menghadapinya?". Kadang-kadang jawabannya adalah: "ia menerima hal
itu secara falsafiah". Ini berarti bahwa ia melihat problema tersebut
dalam perspektif yang luas, atau sebagai suatu bagian dari susunan yang lebih 2
besar.
Oleh karena itu, ia menghadapi situasi itu secara tenang dan dengan berpikir,
dengan keseimbangan dan rasa tenteram. Kedua, filsafat adalah
suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang sangat
dijunjung tinggi. Ini adalah arti yang formal dari "berfilsafat". Dua
arti filsafat, "memiliki dan melakukan", tidak dapat dipisahkan
sepenuhnya satu dari lainnya. Oleh karena itu, jika tidak memiliki suatu
filsafat dalam arti yang formal dan personal, seseorang tidak akan dapat
melakukan filsafat dalam arti kritik dan reflektif (reflective sense).
Meskipun demikian, memiliki filsafat tidak cukup untu melakukan filsafat. Suatu
sikap falsafi yang benar adalah sikap yang kritis dan mencari.
Sikap itu adalah sikap terbuka, toleran, dan mau melihat segala
sudut persoalan tanpa prasangka. Berfilsafat tidak hanya berarti "membaca
dan mengetahui filsafat". Seseorang memerlukan kebolehan berargumentasi,
memakai teknik analisa, dan mengetahui sejumlah bahan pengetahuan,
sehingga ia dapat memikirkan dan merasakan secara falsafi. Ahli
filsafat selalu bersifat berpikir dan kritis. Mereka melakukan pemeriksaan
kedua (a second look) terhadap bahan-bahan yang disajikan oleh faham
orang awam (common sense). Mereka mencoba untuk memikirkan
bermacam-macam problema kehidupan dan menghadapi fakta-fakta yang ada
hubungannya dengan itu. Memiliki pengetahuan banyak tidak dengan sendirinya
akan mendorong dan menjamin seseorang untuk memahami, karena pengetahuan
banyak belum tentu mengajar akal untuk mengadakan evaluasi kritis terhadap
fakta-fakta yang memerlukan pertimbangan (judment) yang bersifat konsisten
dan koheren. Evaluasi-evaluasi kritis sering berbeda. Ahli filsafat,
teologi, sains, dan lain-lainnya mungkin berbeda karena beberapa alasan: 1.
Mereka melihat benda dari sudut pandang yang berbeda dikarenakan adanya
pengalaman pribadi, latar belakang kebudayaan, dan pendidikan yang berbeda. 2.
Mereka hidup dalam dunia yang berubah. Manusia berubah, masyarakat
berubah, dan alam juga berubah. Sebagian manusia ada yang mau mendengarkan (responsive)
dan peka (sensitive) terhadap perubahan, sebagian lainnya berpegang pada
tradisi dan status quo, kepada sistem yang dibentuk pada masa silam dan
karena diangga final. 3. Mereka itu menangani bidang pengalaman kemanusiaan di
mana bukti-buktinya tidak cukup sempurna, sehingga dapat ditafsirkan
bermacam-macam. Meskipun demikian, ahli filsafat tetap memeriksa,
menyelidiki, dan mengevaluasi bahan-bahan itu dengan harapan dapat
menyajikan prinsip-prinsip yang konsisten yang dapat dipakai oleh
seseorang dalam kehidupannya.
Ketiga, filsafat adalah usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan.
Filsafat berusaha untuk mengombinasikan hasil bermacam-macam sains dan
pengalaman kemanusiaan sehingga menjadi pandangan yang konsisten tentang
alam. Seorang ahli filsafat ingin melihat kehidupan, tidak dengan pandangan
seorang saintis, seorang pengusaha atau seorang seniman, akan tetapi dengan pandangan
yang menyeluruh, mengatasi pandangan-pandangan yang parsial. 3
Dalam
membicarakan filsafat spekulatif (speculative philosophy) yang
dibedakan dari filsafat kritik (critical philosophy), C.D. Broad
mengatakan: "maksud dari filsafat spekulatif adalah untuk mengambil alih
hasil-hasil sains yang bermacam-macam, dan menambahnya dengan hasil pengalaman
keagamaan dan budi pekerti. Dengan cara ini diharapkan akan dapat sampai pada
suatu kesimpulan tentang watak alam ini serta kedudukan dan prospek manusia di
dalamnya". Tugas dari filsafat adalah untuk memberikan pandangan dari keseluruhan,
kehidupan, dan pandangan tentang alam, dan untuk mengintegrasikan
pengetahuan sains dengan pengetahuan disiplin-disipllin lain agar
mendapatkan suatu keseluruhan yang konsisten. Menurut pandangan ini,
filsafat berusaha membawa hasil penyelidikan manusia --keagamaan, sejarah, dan
keilmuan-- kepada suatu pandangan yang terpadu, sehingga dapat
memberi pengetahuan dan pandangan yang mendalam bagi kehidupan manusia. Keempat,
filsafat adalah sebagai analisa logis dari bahasa serta penjelasan tentang arti
kata dan konsep. Memang ini merupakan fungsi filsafat. Hampir semua ahli
filsafat telah memakai metoda analisa serta berusaha untuk menjelaskan
arti istilah-istilah dan pemakaian bahasa. Tetapi ada sekelompok ahli
filsafat yang menganggap hal tersebut sebagai tugas pokok dari filsafat
bahkan ada golongan kecil yang menganggap hal tersebut sebagai satu-satunya
fungsi yang sah dari filsafat. Kelompok ini menganggap filsafat sebagai
suatu bidang khusus yang mengabdi kepada sains dan membantu menjelaskan bahasa,
dan bukannya suatu bidang yang luas yang memikirkan segala pengalaman
kehidupan. Pandangan seperti ini merupakan hal baru dan telah memperoleh
dukungan yang besar pada abad ke-20. Pandangan ini akan membatasi apa
yang dinamakan pengetahuan (knowledge) kepada pernyataan (statement)
tentang fakta-fakta yang dapat dilihat serta hubungan-hubungan antara keduanya,
yakni urusan sains yang beraneka macam. Memang ahli-ahli analisis bahasa (linguistic
analysis) tidak membatasi pengetahuan sesempit itu. Memang betul mereka itu
menolak dan berusaha untuk membersihkan bermacam-macam pernyataan yang
non-ilmiah (non scientific), akan tetapi banyak di antara mereka yang
berpendapat bahwa manusia dapat memiliki pengetahuan tentang prinsip-prinsip
etika dan sebagainya yang dihasilkan dari pengalaman. Mereka yang
memilih pandangan yang lebih sempit, mengabaikan, walaupun tidak mengingkari,
semua pandangan yang menyeluruh tentang dunia kehidupan, tentang filsafat moral
yang tradisional dan teologi. Dari segi pandangan yang lebih sempit ini tujuan
filsafat adalah untuk menonjolkan "kebauran dan omong kosong"
serta untuk menjelaskan arti dan pemakaian istilah-istilah dalam sains dan
urusan sehari-hari.
Kelima, filsafat adalah sekumpulan probema-problema yang
langsung yang mendapat perhatian dari manusia dan yang dicarikan jawabannya
oleh ahli-ahli filsafat. Filsafat mendorong penyelidikannya sampai kepada
soal-soal yang 4
paling
mendalam dari eksistensi manusia. Sebagian dari soal-soal filsafat pada zaman
dahulu telah terjawab dengan jawaban yang memuaskan kebanyakan ahli filsafat.
Sebagai contoh, adanya ide bawaan telah diingkari orang semenjak
zamannya John Locke abad ke-17. Walaupun begitu, banyak soal yang sudah
terjawab hanya untuk sementara, dan ada juga problema-problema yang belum
terjawab. Apakah soal-soal kefilsafatan itu? Soal-soal kefilsafatan adalah
berkenaan dengan persoalan yang mendasar dalam kehidupan manusia. Misalnya,
apakah kebenaran itu?, Apakah bedanya antara yang benar dan yang salah?, Apakah
kehidupan itu?, Untuk apa manusia hidup?, Mau kemana akhir dari kehidupan ini?,
dan seterusnya. Semua soal itu adalah falsafi. Usaha untuk mendapatkan jawaban
atau pemecahan masalah terhadapnya telah menimbulkan teori dan sistem pemikiran
seperti idealisme, realisme, pragmatisme, filsafat analitik,
eksistensialisme, dan fenomenologis. Filsafat juga berarti
bermacam-macam teori dan sistem pemikiran yang dikembangkan oleh para filosof
besar seperti Socrates, Plato, Aristoteles, Augustine, Thomas Aquinas,
Descartes, dan seterusnya. Metodologi Filsafat Oleh karena filsafat
berangkat dari rasa heran, bertanya, dan memikirkan tentang asumsi-asumsi yang
fundamental, maka diperlukan untuk meneliti bagaimana filsafat itu menjawab
pertanyaan-pertanyaan tersebut. Problema-problema filsafat tidak dapat
dipecahkan dengan sekedar mengumpulkan fakta-fakta. Untuk mencapai tujuan
tersebut, metoda dasar untuk penyelidikan filsafat adalah metoda dialektika.
Filsafat berlangsug dengan mengikuti dialektika argumentasi. Istilah
dialektika menunjukkan proses berpikir yang berasal dari Socrates.
Menurut Socrates, cara yang paling baik untuk mendapatkan pengetahuan yang
diandalkan adalah dengan melakukan pembicaraan yang teratur (disciplined
conversation) dengan memainkan peranan seorang intellectual midwife (orang
yang memberi dorongan atau rangsangan kepada seseorang untuk melahirkan
pengetahuan yang terpendam dalam pikiran). Metoda yang dipakai Socrates
dinamakan dialektika. Proses dialektika adalah dialog antara dua
pendirian yang bertentangan. Socrates dan filosof-filosof yang datang kemudian
berkeyakinan bahwa dengan proses dialog di mana setiap peserta dalam
pembicaraan akan terpaksa untuk menjelaskan idenya. Hasil terakhir dari
pembicaraan tersebut akan merupakan pernyataan tentang apa yang dimaksudkan.
Hal penting adalah bahwa dialektika itu merupakan perkembangan pemikiran dengan
memakai pertemuan (interplay) antar ide.
Pemikiran dialektika atau
metoda dialektika berusaha untuk mengembang-kan suatu contoh argumen yang di
dalamnya terjalin implikasi bermacam-macam proses (sikap) yang saling
mempengaruhi. Argumen tersebut akan menunjukkan bahwa tiap-tiap proses (sikap)
tidak menyajikan pemahaman yang sempurna 5
tentang
kebenaran. Dengan begitu timbullah pandangan dan alternatif yang baru. Tiap
tahap dar dialektika akan memasuki lebih dalam kepada problema asli, dan dengan
begitu ada kemungkinan untuk lebih mendekati kebenaran. Dengan menggunakan
netoda dialektika akan lebih mendekati kebenaran, akan tetapi sesungguhnya
tidak jarang problema filsafat yang semula belum juga terpecahkan. Masih banyak
soal-soal yang dikemukakan serta argumentasi yang ditentang. Dengan metoda
dialektika setidaknya akan sampai kepada pemecahan sementara, ada
jawaban-jawaban yang tampak lebih memuaskan, tetapi ada juga jawaban yang harus
dibuang. Cabang-cabang Tradisional dari Filsafat Menurut sejarah,
persoalan-persoalan filsafat telah dibahas dalam kategori-kategori berikut:
logika, metafisika, epistemologi, dan etika. LOGIKA Filsafat berusaha
untuk memahami watak dari pemikiran yang benar dan mengungkapkan cara berpikir
yang sehat. Satu hal yang dijumpai dalam seluruh sejarah filsafat adalah
ajakannya kepada akal, argumentasi, dan logika. Setiap orang
menggunakan argumentasi untuk menopang pendapat atau membedakan antara
argumentasi yang benar dan yang salah. Tetapi bagaimana membedakan antara
argumentasi yang benar dan yang salah? Pada dasarnya, suatu argumentasi
merupakan seba-sebab (premise/Inggris atau muqaddimah/Arab) untuk
menguatkan atau menolak suatu posisi (conclusion/Inggris atau natijah/Arab).
Logika atau mantik adalah pengkajian yang sistematis tentang aturan-aturan
untuk menguatkan sebab-sebab yang mengenai konklusi; aturan-aturan itu dapat
dipakai untuk membedakan argumen yang baik dari argumen yang tidak baik. Argumentasi
dan dialektika merupakan alat atau instrumen yang sangat
perlu bagi ahli filsafat. Argumentasi harus mempunyai dasar yang sehat dan
masuk akal. Tugas untuk menciptakan ukuran untuk menetapkan manakah
argumen yang benar (valid) dan yang tidak benar adalah termasuk dalam
cabang filsafat yang dinamakan logika. Kemampuan untuk memeriksa sesuatu
argumen dari segi konsistensi logika, untuk mengetahui akibat-akibat logis dari
asumsi-asumsi, dan untuk menentukan kebenaran sesuatu bukti yang dipakai oleh
seorang filosof adalah sangat penting untuk berfilsafat. METAFISIKA
Bagi Aristoteles, istilah
metafisika berarti filsafat pertama (fisrt philosophy), yaitu
pembicaraan tentang prinsip-prinsip yang paling universal. Istilah tersebut
mempunyai arti sesuatu yang di luar kebiasaan (beyond nature). 6
Metafisik
membicarakan watak yang sangat mendasar (ultimate) dari benda, atau
realitas yang berada di belakang pengalaman yang langsung (immediate
experience). Tidak dapat diragukan lagi bahwa istilah metafisik adalah
cabang filsafat yang sangat sukar dipahami. Metafisik berusaha untuk
menyajikan pandangan-pandangan yang komprehensif tentang segala yang ada; ia
membicarakan problema seperti hubungan antara akal dan benda, hakekat
perubahan, arti kemerdekaan, kemauan, wujud Tuhan, dan kehidupan setelah mati. EPISTEMOLOGI
Secara umum epistemologi adalah cabang filsafat yang mengkaji sumber-sumber,
watak, dan kebenaran pengetahuan. Apakah yang dapat diketahui oleh
akal manusia?; Dari manakah kita memperoleh pengetahuan?; Apakah kita memiliki
pengetahuan yang dapat diandalkan?; Apakah kemampuan kita terbatas dalam
mengetahui fakta pengalaman indera, atau apakah kita dapat mengetahui lebih
jauh dari apa yang diungkapkan oleh indera? Istilah untuk nama teori
pengetahuan adalah epistemologi, yang berasal dari kata Yunani episteme (pengetahuan).
Ada tiga pokok persoalan dalam bidang ini, yaitu:
(1)
Apakah sumber-sumber pengetahuan? Dari mana pengetahuan yang benar itu datang,
dan bagaimana kita dapat mengetahui? Ini semua adalah problema asal (origins).
(2)
Apakah watak dari pengetahuan? Adakah dunia yang riil di luar akal, dan kalau
ada, dapatkah kita mengetahui? Ini semua adalah problema penampilan (appearance)
terhadap realitas.
(3) Apakah pengetahuan kita itu
benar (valid)? Bagaimana kita membedakan antara kebenaran dan kekeliruan? Ini
adalah problema mencoba kebenaran (verification).
Dalam tradisi filsafat,
kebanyakan dari para filosof yang telah mengemuka-kan jawaban terhadap
persoalan-persoalan tersebut dapat dikelompokkan dalam salah satu dari dua
aliran: rasionalisme atau empirisme. Kelompok rasionalis
berpendapat bahwa akal manusia sendiri tanpa bantuan lain, dapat mengungkapkan
prinsip-prinsip pokok dari alam. Kelompok empiris berpendapat bahwa semua
pengetahuan itu pada dasarnya datang dari pengalaman indra, dan oleh
karena itu pengetahuan seseorang terbatas pada hal-hal yang hanya dapat
dialami. ETIKA
Dalam arti yang luas, etika
adalah pengkajian soal moralitas. Apakah yang benar, dan apakah yang salah
dalam hubungan antar manusia? Dalam moralitas 7
dan etika
ada tiga bidang yang besar: etika deskriptif (descriptive ethics),
etika normatif (normative ethics), dan metaetika (metaethics).
Etika deskriptif berusaha untuk menjelaskan pengalaman moral dengan cara
deskkriptif. Etika deskriptif berusaha untuk mengetahui motivasi, kemauan, dan
tujuan sesuatu tindakan dalam kelakuan manusia. Etika deskriptif berusaha untuk
menyelidiki kelakuan perseorangan atau personal morality, kelakuan
kelompok atau social morality, serta contoh-contoh kenudayaan dari
kelompok nasional atau rasial. Etika deskriptif merupakan suatu usaha untuk
membedakan apa yang ada dan apa yang harus ada. Tingkatan kedua
dari penyelidikan etika adalah etika normatif (apa yang harus ada). Di
sini para filosof berusaha merumuskan perimbangan (judgment) yang dapat
diterima tentang apa yang harus ada dalam pilihan dan penilaian. "Kamu
harus memenuhi janjimu" dan "Kamu harus menjadi orang terhormat"
adalah contoh dari penilaian (judgment) yang normatif (keharusan).
Keharusan moral (moral ought) merupakan subject mater,
bahan pokok dalam etika. Sejak jaman Yunani Purba, para filosof telah
merumuskan prinsip-prinsip penjelasan untuk menyelidiki mengapa manusia
bertindak seperti yang mereka lakukan, dan apakah prinsip-prinsip kehidupan
mereka. Pernyataan prinsip-prinsip tersebut dinamakan teori-teori etika.
Tingkatan ketiga adalah metaetika atau critical ethics. Di
sini perhatian orang dipusatkan kepada analisa, arti istilah dan bahasa yang
dipakai dalam pembicaraan etika, serta cara berpikir yang dipakai untuk
membenarkan pernyataan-pernyataan etika. Metaetika tidak menganjurkan sesuatu
prinsip atau tujuan moral, kecuali dengan cara implikasi; metaetika seluruhnya
terdiri atas analisa falsafi. Apakah arti baik (good)?, dan apakah penilaian
moral dapat dibenarkan?, dan adakah problema-problema khas dalam metaetika?
Philip Wheelwright telah menulis definisi etika yang jelas dan tepat tentang
etika. Etika dapat dibatasi sebagai cabang filsafat yang merupakan pengkajian
sistematis tentang pilihan reflektif, ukuran kebenaran, dan kesalahan yang
membimbingnya, atau hal-hal yang bagus yang pilihan reflektif harus diarakan
kepadanya.
PENDIDIKAN:
HAKEKAT, TUJUAN, DAN PROSES
Yuli Sectio Rini
Jurusan Pendidikan
Seni Tari
y_sectio@uny.ac.id
Abstrak
Pendidikan adalah
segala daya upaya dan semua usaha untuk membuat masyarakat
dapat mengembangkan
potensi manusia agar memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri,
berkepribadian, memiliki kecerdasan, berakhlak mulia, serta memiliki
keterampilan yang
diperlukan sebagai anggota masyarakat dan warga negara. Di samping itu
pendidikan merupakan
usaha untuk membentuk manusia yang utuh lahir dan batin cerdas,
sehat, dan berbudi
pekerti luhur.
Pendidikan mampu
membentuk kepribadian melalui pendidikan lingkungan yang
bisa dipelajari baik
secara sengaja maupun tidak. Pendidikan juga mampu membentuk
manusia itu memiliki
disiplin, pantang menyerah, tidak sombong, menghargai orang lain,
bertaqwa, dan
kreatif, serta mandiri.
Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa pendidikan baik sengaja maupun tidak,
akan mampu membentuk
kepribadian manusia yang matang dan wibawa secara lahir dan
batin, menyangkut
keimanan, ketakwaan, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan
bertanggung jawab.
Kata kunci:
Pendidikan dan seni tari.
PENDIDIKAN:
HAKEKAT, TUJUAN, DAN PROSES
Yuli Sectio Rini
Pendidikan Seni Tari
y_sectio@uny.ac.id
I. PENDAHULUAN
Manusia tidak bisa
lepas dari pendidikan. Pendidikan merupakan salah satu sektor
penting dalam
pembangunan di setiap negara. Menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2003
tentang Sisdiknas
dalam pasal 1 disebutkan bahwa pendidikan merupakan usaha sadar dan
terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat,
mengembangkan segala potensi yang dimiliki peserta didik melalui
proses pembelajaran.
Dalam pasal 4 dijelaskan bahwa peserta didik adalah anggota
masyarakat yang
berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang
tersedia pada jalur,
jenjang, dan jenis pendidikan tertentu.
Dengan demikian
pendidikan adalah segala daya upaya dan semua usaha untuk
membuat masyarakat
dapat mengembangkan potensi peserta didik agar memiliki kekuatan
spiritual keagamaan,
pengendalian diri, berkepribadian, memiliki kecerdasan, berakhlak
mulia, serta memiliki
keterampilan yang diperlukan sebagai anggota masyarakat dan warga
negara.
Bendara Raden
Tumenggung Harya Suwardi Soerjaningrat yang lebih dikenal dengan
nama Ki Hadjar
Dewantara (1961: 2) mengatakan dalam bukunya bahwa usaha-usaha
pendidikan (tari)
ditujukan pada (a) halusnya budi, (b) cerdasnya otak dan (c) sehatnya
badan. Ketiga usaha
itu akan menjadikan lengkap dan laras bagi manusia. Dengan demikian
pendidikan merupakan
usaha untuk membentuk manusia yang utuh lahir dan batin, yaitu
cerdas, sehat, dan
berbudi pekerti luhur. Ki Hadjar Dewantara juga menegaskan bahwa
pendidik harus
memiliki konsep 3 kesatuan sikap yang utuh, yakni ing ngarsa sung tuladha,
ing
madya mangun karsa, dan tut wuri handayani. Pengertiannya, bahwa sebagai
pendidik
harus mampu menjadi
tauladan bagi peserta didiknya, pendidik juga mampu menjaga
keseimbangan, juga
dapat mendorong, dan memberikan motivasi bagi peserta didiknya.
Trilogi pendidikan
ini diserap sebagai konsep “kepemimpinan Pancasila”.
Menurut Syah dalam Chandra
(2009: 33) dikatakan bahwa pendidikan berasal dari kata
dasar “didik” yang
mempunyai arti memelihara dan memberi latihan. Kedua hal tersebut
memerlukan adanya
ajaran, tuntunan, dan pimpinan tentang kecerdasan pikiran. Pengertian
pendidikan adalah proses
pengubahan sikap dan perilaku seseorang atau sekelompok orang
dalam usaha
mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Dengan
melihat definisi
tersebut, sebagian orang mengartikan bahwa pendidikan adalah pengajaran
karena pendidikan pada
umumnya membutuhkan pengajaran dan setiap orang berkewajiban
mendidik. Secara
sempit mengajar adalah kegiatan secara formal menyampaikan materi
pelajaran sehingga
peserta didik menguasai materi ajar.
Dalam konsep
tradisional Jawa, teori pendidikan dikemukakan lewat syair tembang
Pocung
(Lagu Jawa), yang berbunyi sebagai berikut:
Ngelmu
iku
Saranane
kanthi laku
Lekase
lawan kas
Tegese
kas nyantosani
Setya
bodya penekese dur angkara
(Ilmu itu
Mencarinya dengan
berusaha secara tulus
Niat (mencari ilmu)
dengan tekad yang bulat dan kokoh
Maksud kata “kas”
adalah dorongan kekuatan iman (kebulatan tekad)
di dalam mecari ilmu
Sesungguhnya usaha
ini berfungsi untuk menahan hawa nafsu)
Dari konsep tersebut
menjelaskan bahwa pendidikan itu penting artinya bagi kehidupan
manusia, baik
berfungsi bagi pendewasaan manusia secara lahiriah dan batiniah maupun
pendewasaan bagi
sikap dan perilaku yang menuju pada cita-cita manusia “ideal” atau
manusia “utama”.
Berikut ini juga pendidikan dalam salah satu syair pada tembang Sinom:
Nuladha
laku utama,
Tumraping
wong tanah Jawi
Wong
agung ing Ngeksiganda
Panembahan
Senapati
Kepati
amarsudi
Sudanen
hawa lan nepsu
Pinesu
tapa brata
Tanapi
ing siang ratri
Amemangun
karyanak tyas ing sasama
(Mencontoh perilaku
yang utama
Untuk orang di tanah
Jawa
Wong Agung di
Ngeksiganda
Panembahan Senopati
Sampai mati mencari
Kurangilah keinginan
dan nafsu
Sesungguhi semedi
Tiap siang dan malam
hari
Membuat harmonis
kehidupan hati semua orang).
Dua tembang di atas
sudah bisa untuk memberi pengertian bahwa pendidikan itu
sangat penting dan
diperlukan oleh manusia. Pendidikan itu sangat luas, dapat berupa ilmu,
dapat berupa
pergaulan dengan sesama, dapat dengan membuat orang lain senang.
Kekokohan dalam
mencari ilmu adalah bukti bahwa ilmu itu memang sangat penting bagi
kehidupan manusia.
Apalagi sekarang ini kehidupan sudah beraneka ragam kebutuhannya
sebagai akibat dari
globalisasi.
Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa pendidikan sangat luas bisa secara formal
lewat lembaga - dari
tingkat dasar sampai perguruan tinggi - dan pendidikan juga bisa
diperoleh dari dalam
lingkungan baik keluarga maupun maupun masyarakat.
II. HAKEKAT
PENDIDIKAN
Secara formal
pendidikan itu dilaksanakan sejak usia dini sampai perguruan tinggi.
Adapun secara hakiki
pendidikan dilakukan seumur hidup sejak lahir hingga dewasa. Waktu
kecil pun dalam UU 20
Tahun 2003 tentang Sisdiknas pendidikan anak usia dini yang nota
bene anak-anak kecil
sudah didasari dengan pendidikan yang mengajarkan nilai-nilai moral
yang baik agar dapat
membentuk kepribadian dan potensi diri sesuai dengan perkembangan
anak. Dalam PP 27
tahun 1990 bab 1 pasal 1 ayat 2, disebutkan bahwa sekolah untuk peserta
didik yang masih
kecil adalah salah satu bentuk pendidikan pra sekolah yang menyediakan
program pendidikan
dini bagi anak usia 4 tahun sampai memasuki pendidikan dasar
(Harianti, 1996: 12).
Di samping itu terdapat 6 fungsi pendidikan (Depdiknas 2004: 4), yaitu:
· Mengenalkan
peraturan dan menanamkan disiplin kepada anak.
· Mengenalkan
anak pada dunia sekitarnya.
· Menumbuhkan
sikap dan perilaku yang baik.
· Mengembangkan
kemampuan berkomunikasi dan bersosialisasi.
· Mengembang
ketrampilan, kreativitas, dan kemampuan yang dimiliki anak.
· Menyiapkan
anak untuk memasuki pendidikan dasar.
Dari beberapa uraian
di atas inilah, maka pendidikan yang menanamkan nilai-nilai
positif akan tepat
dimulai ketika anak usia dini. Dengan demikian pendidikan bagi peserta
didik yang masih
kecil merupakan landasan yang tepat sebelum masuk pada pendidikan yang
lebih tinggi.
Pendidikan anak usia dini merupakan pendidikan awal yang sesuai dengan
tujuan untuk
mengembangkan sosialisasi anak, menumbuhkan kemampuan sesuai dengan
perkembangannya,
mengenalkan lingkungan kepada anak, serta menanamkan disiplin, karena
secara tidak langsung
dapat menanamkan atau mentransfer nilai-nilai moral dan nilai sosial
kepada anak. Jadi
dari uraian konsep pendidikan seperti tersebut dalam pendahuluan, dapat
dipahami makna dan
kepentingan pendidikan secara hakiki bagi manusia. Pendidikan bagi
manusia dapat
diuraikan sebagai berikut.
A. Manusia sebagai
makhluk Tuhan.
Manusia adalah
makhluk Allah yang paling sempurna. Manusia lahir dalam keadaan
lemah, tidak berdaya
apa-apa. Oleh karena ketidak berdayaan ini, manusia membutuhkan
bantuan, mulai dari
kebutuhan fisik/biologis seperti makan, minum, berjalan, berbicara, dan
lain sebagainya
sampai pada kebutuhan rohaniah seperti kesenangan, kepuasan, dan lain
sebagainya. Dari
ketidak berdayaan ini inilah lalu manusia berusaha dengan menggunakan
akal dan pikirannya.
Manusia menggunakan lingkungan sebagai ajang belajar. Akhirnya
dengan pendidikan
manusia mempelajari lingkungannya. Dengan pendidikan manusia
menjadi “berdaya”
atau “mampu”. Manusia menggunakan akalnya seperti yang dikatakan
oleh Cassirer bahwa
manusia itu mengguanakan akalnya. Manusia adalah makhluk yang
berakal. Bahkan
karena akalnya itu, Ernst Cassirer seorang filsuf dalam bukunya An Essay on
Man (1944)
menekankan bahwa manusia adalah animal symbolicum yang artinya manusia
adalah binatang
bersimbol. Untuk membedakan manusia dengan binatang, terletak pada
kemampuan akal
manusia yaitu dengan menciptakan simbol-simbol dan tanda-tanda bagi
komunitasnya
Van Baal (1987:17)
juga mengatakan bahwa sesuatu yang menjadi milik manusia
itu diperoleh dengan
dua cara: Pertama, secara umum untuk menunjukkan segala
sesuatunya dengan
belajar. Van Baal mengatakan bahwa manusia memperoleh dengan
cara belajar dan
pengembangannya dalam pengetahuan, kelembagaan, kebiasaan,
keterampilan dan
seterusnya. Kedua, sebagai suatu istilah yang mencakup kesemuanya
untuk menunjukkan
bentuk kehidupan secara total dari para anggota suatu kelompok
tertentu
Hal demikian juga
seperti dikatakan oleh Kuntjaraningrat bahwa manusia itu
memperoleh segala
sesuatunya dengan belajar. Ia mengatakan bahwa segala sesuatu yang
menjadi milik manusia
itu diperoleh dengan belajar. Koentjaraningrat (1996:72) yang dikenal
sebagai bapak
kebudayaan menyatakan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan sistem
gagasan, tindakan dan
hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang
dijadikan milik diri
manusia dengan belajar. Kata belajar inilah menjelaskan bahwa sejak
lahir sampai dewasa
manusia selalu belajar dari lingkungannya. Meski dia tokoh kebudayaan,
tetapi karena
pendidikan pun bersifat luas dan milik manusia, maka apa yang dialami
manusia yang
diperoleh dengan belajar adalah juga pendidikan.
B. Manusia memiliki
kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Sebagai makhluk
sosial dan juga sebagai makhluk individu, manusia memiliki
kelebihan dan
kekurangan masing-masing. Manusia akan membagi kelebihannya dengan
manusia lain,
sedangkan sebagai makhluk individual manusia butuh mencukupi kekurangan
pada dirinya. Sebagai
makhluk sosial pula, manusia berhubungan dengan banyak orang. Ia
akan belajar dari
manusia dan juga alam di sekelilingnya. Kemudian yang berada di
sekelilingnya itu
akan diserap ke dalam otaknya dan akan menjadi miliknya. Dengan
demikian manusia akan
belajar dari lingkungannya. Masing-masing manusia yang
ditemuinya ada yang
memiliki kelebihan dan ada yang memiliki kekurangan.
C. Manusia secara
kodrati memiliki potensi yang dibawa sejak lahir.
Sebagai manusia ia
juga memiliki kemampuan yang dibawa sejak lahir. Kemampuan
atau potensi ini
menurut ilmu jiwa disebut bakat (talent). Bakat sejak lahir itu perlu
pemupukan dari
lingkungannya terutama keluarga. Oleh karena sebagai manusia memiliki
kekurangan maka untuk
mengembangkan bakat ini dibutuhkan juga pendidikan. Potensi yang
dimaksud adalah
kemampuan seperti diungkapkan dalam Undang-undang 20 tahun 2003
tentang pendidikan.
Dalam pasal 1 ayat 4 dijelaskan bahwa peserta didik adalah anggota
masyarakat yang
berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang
tersedia pada jalur,
jenjang, dan jenis pendidikan tertentu (UU No. 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan
Nasional). Peserta didik itu juga manusia, maka dapat dikatakan bahwa
manusia itu dalam
mengembangkan potensinya juga membutuhkan pendidikan. Apalagi jika
potensi itu dari
lahir yang disebut bakat (talent).
D. Manusia merupakan
suatu proses.
Manusia itu sejak
lahir sampai dewasa mengalami suatu “proses”. Proses yang panjang
ini dilalui dengan
pendidikan, yaitu dengan memperoleh “nilai” yang diperoleh dari
masyarakatnya.
Masyarakat keluarga, masyarakat sekolah, masyarakat tempatnya bekerja,
dan masyarakat tempat
manusia itu bergaul. Secara holistik, nilai ini diraih dalam rangka
“memanusiakan”
dirinya. Pernyataan bahwa pendidikan itu dialami manusia sejak lahir
hingga dewasa, hal
tersebut mengisyaratkan bahwa pendidikan itu dimulai sejak kecil hingga
dewasa.
Maka jika dari kecil
sudah diberi pendidikan seperti tersebut di atas, dan selama hidup,
lingkungannya juga
membentuk manusia lahir dan batinnya, maka ketika dewasa pun akan
membentuk karakter.
Oleh karena itu dapat disebutkan bahwa manusia adalah suatu proses.
E. Manusia sebagai
makhluk individu.
Manusia hidup sebagai
dirinya sendiri. Dalam mengarungi hidupnya bagaikan “orang
buta yang berjalan di
tengah hutan pada malam hari musim hujan”. Ia tidak tahu dirinya,
bahkan tidak kenal
dengan dirinya sendiri. Oleh karena itu, manusia melakukan upaya
menemukan jati
dirinya. Upaya-upaya ini dilakukan dengan belajar dari lingkungannya yaitu
dengan pendidikan
yang dilakukannya dalam jangka waktu yang tidak ada batasnya, yaitu
sepanjang hayat di
kandung badan, sepanjang hidupnya. Jati diri manusia adalah
“kematangan” atau
“kedewasaan”. Yang dimaksud adalah matang secara ragawi, matang
secara rohani, matang
intelektual. Di samping itu juga matang dalam berhubungan baik
secara horizontal
(hubungan antar manusia dengan manusia dan alam lingkungan) maupun
hubungan vertikal
(hubungan manusia dengan Tuhannya). Penemuan “jati diri” yang benar
inilah yang akan
menobatkan manusianya sebagai manusia.
Berikut adalah skema
mengenai hakekat pendidikan seperti tergambar di bawah ini:
Hakekat Pendidikan
Dari uraian dan tabel
di atas, dapat disimpulkan bahwa hakekat pendidikan adalah
pendidikan untuk
manusia dan dapat diperoleh selama manusia lahir hingga dewasa.
1. Manusia
mengusahakan proses yang terus menerus. Manusia melakukan rekonstruksi
pengalaman dan
sekaligus merupakan proses pertumbuhan yang mengarah ke
pertumbuhan
selanjutnya. Hal ini disebut proses of continues reconstruction of expressi.
2. Relevansi tersebut
merupakan tuntutan sejak kecil, remaja, hingga dewasa. Masa
relevansi juga sejak
di pendidikan dasar sampai perguruan tinggi, dan masa dunia kerja.
Masa relevansi itu
terus menerus secara kontinuitas.
3. Masa penyesuaian
diri adalah masa fleksibilitas luwes yang disesuaikan dengan
kebutuhan diri pada
masanya. Artinya manusia harus bisa dan mampu serta mau
menyesuaikan dengan
keadaan lingkungannya. Lingkungan keluarga, sekolah,
masyarakat, desa,
kota. Manusia juga harus menyesuaikan diri dengan segala situasinya,
berpendidikan ataukah
kurang perpendidikan, miskin atau kaya. Di samping itu juga ia
harus menyesuaikan
diri dengan tempat atau penyesuaiakan diri secara geografis.
4. Cita-cita manusia
itu harus sesuai dengan tanggung jawab manusia dan pendidikannya,
baik pendidikan formal
maupun pendidikan masyaraka/lingkungan.
· Manusia
terlahir
dengan
ketidakberdayaan
· Manusia
memiliki
kelebihan dan
kekurangan
· Manusia
memiliki
potensi yang
seharusnya dapat
berkembang tetapi
punya kelemahan
· Proses
memanusia-kan
dirinya sendiri
sebagai manusia
· Pendidikan
sepanjang hayat
· Pemenuhan
jati
diri meliputi:
kematangan
(kedewasaan)
biologis,
psikologis,
paedagogis dan
sosiologis.
5. Manusaia memiliki
upaya sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui bimbingan
pengajaran agar
menguasai kemampuan sesuai dengan peran yang harus dimainkan
manusia.
Hal seperti di atas
adalah juga seperti yang dijelaskan Ki Hadjar Dewantara, bahwa
nilai yang diraih
adalah manusia yang utuh lahir dan batinnya yaitu manusia yang cerdas,
sehat dan berbudi
pekerti luhur.
III. TUJUAN
PENDIDIKAN
Tujuan pendidikan itu
juga ditanamkan sejak manusia masih dalam kandungan, lahir,
hingga dewasa yang
sesuai dengan perkembangan dirinya. Ketika masih kecil pun
pendidikan sudah
dituangkan dalam UU 20 Sisdiknas 2003, yaitu disebutkan bahwa pada
pendidikan anak usia
dini bertujuan untuk mengembangkan kepribadian dan potensi diri
sesuai dengan tahap
perkembangan peserta didik (Depdiknas 2003: 11).
Dengan demikian
tujuan pendidikan juga mengalami perubahan menyesuaikan
dengan perkembangan
manusia. Oleh karena pendidikan dialami sejak manusia lahir hingga
dewasa, maka tujuan
pendidikan juga merupaka suatu proses. Proses “memanusiakan dirinya
sebagai manusia”
merupakan makna yang hakiki di dalam pendidikan. Keberhasilan
pendidikan merupakan
“cita-cita pendidikan hidup di dunia” (Dalam agama ditegaskan juga
bahwa cita-cita
“hidup” manusia adalah di akherat). Akan tetapi tidak selamanya manusia
menuai hasil dari
proses yang diupayakan tersebut. Oleh karena itu, kadang proses itu
berhasil atau kadang
pun tidak. Jadi dengan demikian dapat dikatakan bahwa “keberhasilan”
dari proses
pendidikan secara makro tersebut merupakan tujuan.
Keberhasilan itu jug
dipengaruhi oleh beberapa faktor. Hal ini mengingat bahwa
pendidikan itu ada
tiga pilar yaitu pendidikan keluarga, pendidikan sekolah, dan pendidikan
masyarakat. Dalam
pembentukan dan tujuan pendidikan yang berkaitan dengan pembentukan
watak, maka faktor
keluarga sangat penting. Faktor orang tua sangat berpengaruh pada
pendidikan manusia
sebagai peserta didik. Kesadaran orang tua makin meningkat mengenai
pentingnya pendidikan
sebagai persiapan awal untuk membantu pencapaian keberhasilan
pendidikan
selanjutnya. Persiapan awal tersebut menyangkut pencapaian perkembangan sehat
secara mental, emosi,
dan sosial. Namun orang tua juga tidak sama. Seperti yag dikemukakan
berikut ini bahwa
kadang orang tua belum memiliki pengetahuan dan keterampilan yang
memadai untuk
membantu kesiapan anak untuk mengikuti pendidikan selanjutnya atau
perkembangan sehat
mental, emosi, sosial, dan fisik anak (Sodiq A. Kuntoro, 1988: 1).
Dengan demikian
keberhasilan pendidikan ini tidak serta merta dicapai begitu saja,
namun diperlukan
persyaratan dan proses secara selektif. Untuk memperoleh keberhasilan di
dalam pendidikan
tersebut diperlukan kesatuan dari tiga komponen keberhasilan pendidikan.
Keberhasilan kesatuan
dari tiga komponen itu menyangkut beberapa faktor.
1. Komponen pendidik:
Syarat utama pendidik
adalah mampu sebagai sosok tauladan. Konsep pendidik
yang sekaligus
pemimpin seperti yang diungkapkan oleh Ki Hadjar Dewantara di atas,
yakni ing ngarsa
sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani yang
semaksimal mungkin
harus dipenuhi komponen pendidik. Jika konsep ini dipenuhi, maka
dalam diri pendidik
tersebut akan memancarkan “aura” yang menyebabkan wibawa pada
dirinya. Di samping
itu pendidik sebagai sosok yang digugu lan ditiru (diikuti dan ditiru)
akan menjadi bukti
kebenarannya. Tidak kalah pentingnya dalam usaha memperoleh
keberhasilan ini
adalah sikap pendidik yang ikhlas.
2. Komponen Peserta
Didik
Manusian sebagai
peserta didik adalah salah satu komponen penentu keberhasilan
pendidikan. Jika
manusia sebagai peserta didik itu pasif, apatis, dan masa bodoh, maka
mustahil pendidikan
akan memperoleh keberhasilan. Oleh karena itu, peserta didik
dituntut berperan
aktif di dalam proses pendidikan. Peran aktif ini diwujudkan dalam
sikap taat pada
pendidik, yaitu taat pada perintah maupun larangan pendidik. Taat pada
pendidikan ini
dilakukan ada maupun tidak ada pendidik. Ada atau tidak adanya orang tua
maupun guru, ia akan
tetap taat.
3. Komponen
Pelaksanaan
Di dalam pelaksanaan
pendidikan, manusia baik pendidik maupun peserta didik
harus dalam kondisi
yang “bebas-demokratis”. Dalam suasana gembira dan saling
memahami. Pendidik
didasari dengan niat yang tulus dan ikhlas memberikan ilmunya
kepada peserta didik.
Demikian pula peserta didik juga selalu dalam niat yang ikhlas
untuk mencari dan
menerima ilmu. Jika keduanya telah terjalin dalam hubungan yang
harmonis sama-sama
ikhlas dan sama-sama dalam kondisi “bener tur pener” (benar
dalam kebenaran) maka
ilmu yang didapat akan menjadi ilmu yang bermanfaat. Indikator
keberhasilan proses
pendidikan ini adalah adanya perubahan nilai secara positif, dari tidak
tahu menjadi tahu,
dari “tidak” menjadi “ya”, dari “buta” menjadi “melek” dari “faham”
menjadi “mahir” dan
seterusnya.
Tujuan pendidikan
disebut juga dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 dalam
pasal 3 adalah
sebagai berikut “pendidikan bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta
bertanggung jawab". Dalam tujuan pendidikan seperti tersebut tadi,
terdapat
beberapa kata kunci
antara lain iman dan takwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan
demokratis. Konsekuensinya adalah kriteria atau bisa juga disebut
sebagai evaluasi
pendidikan yang diterapkan harus mampu melihat sejauh mana ketercapaian
setiap hal yang
disebutkan dalam tujuan tersebut. Evaluasi harus mampu mengukur tingkat
pencapaian setiap
komponen yang tertuang dalam tujuan pendidikan yaitu tertuang dalam
Undang-Undang No. 20
tahun 2003. Dari penjelasan tersebut tampak sinkron antara konsep
pendidikan yang
dituangkan oleh pemerintah dengan konsep pendidikan masyarakat.
Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa hakekat pendidikan dan tujuan
pendidikan adalah
bahwa pendidikan seumur hidup sejak manusia lahir sampai dewasa, baik
itu pendidikan formal
dari kecil hingga perguruan tinggi, maupun pendidik di lingkungan
masyarakat atau di
tempat dia tinggal. Tujuan pendidikan itu juga untuk menciptakan
manusia yang matang
dan wibawa secara lahir dan batin, menyangkut keimanan, ketakwaan,
berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan bertanggung jawab.
Pendidik
Berwibawa
Peserta didik
Berperan aktif
Pelaksanaan
Bebas,
demokratis
KEBERHASILAN
PENDIDIKAN
DAFTAR
PUSTAKA
Arieh Lewy (Editor).
1977. Handbook of Curriculum Evaluation. Paris:
International
Institute for Educational Planning
Cassirer, Ernst.
1944. An Essay on Man. Terjemahan Manusia. New Faven.
Chandra,: Fransisca.
2009. “Peran Partisipasi Kegiatan di Alam Masa anak, Pendidikan dan
Jenis Kelamin sebagai
Moderasi Terhadap Perilaku Ramah Lingkungan”. Disertasi
S3. Program Magister
Psikologi Fakultas Psikologi. Unversita Gadjah Mada
Yogyakarta.
Departemen Pendidikan
Nasional (2004). Kurikulum 2004. Standard Kompetensi Taman
Kanak-kanak
dan Raudatul Athfal. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan TK dan
SD.
Dewantara, Ki Hadjar.
1961. Karya Ki Hadjar. Yogyakarta: Taman Siswa.
Koentjaraningrat.
1996. Pengantar Antopologi I. Jakarta: Rineka Putra.
Kuntoro, Sodiq A.
1988. “Hubungan antara beberapa Faktor Guru, Strategi, Intruksional, dan
Hasil Belajar Siswa
taman Kanak-kanak”. Disertasi S3. Fakultas Pasca Sarjana
Institut Keguruan dan
Ilmu Pendidikan Jakarta. Maret 1988.
Pusat Pengembangan
Kurikulum. 2003. Kurikulum 2004 Kerangka Dasar (draft). Jakarta:
Departemen Pendidikan
Nasional
Satmoko, Retno
Sriningsih. 2000. Landasan Kependidikan, Pengantar ke arah ilmu
Pendidikan
Pancasila. Semarang: IKIP Semarang Press.
Undang-undang No. 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Van Baal, J. 1987.
Sejarah dan Pertumbuhannya: Teori Antopologi Budaya. Jakarta:
Gramedia. Jilid 1.
__________. 1988.
Sejarah dan Pertumbuhannya: Teori Antopologi Budaya. Hingga Dekade
1970). Jilid 2.
Jakarta: PT Gramedia.
BIODATA
Yuli Sectio Rini
Lahir di Purwokerto, 14 Juli 1959. Bekerja UNY sejak 1986. Pendidikan S1
ISI Yogyakarta, S2
UGM. Ketika sedang penelitian untuk S3, terpaksa mundur dulu karena
sakit pendarahan
otak, bahkan dibebaskan mengajar selama 1 semester di tahun 2012.
Semangat untuk sembuh
dan melanjutkan studi yang tertunda dilakukan dengan menulis
makalah, menulis
buku, mengikuti penelitian, membuat karya seni. Selain mengajar di FBS
UNY, ia juga pernah
mengajar di FIP, PPPGK, UT, dan UIN. Pernah menjadi Sekjur dan
Ketua Jurusan.
Kegiatan sekarang adalah mengajar, bimbingan mahasiswa, penelitian,
penulisan, workshop,
puisi, dan menjadi juri beberapa even regional dan nasional. Kegiatan
terbaru adalah
workshop danceability untuk siswa berkebutuhan khusus, workshop tari
flamenco dari
Spanyol, dan seminar nasional di UNJ, dan workshop kurikulum 2013, dan
penulisan
Komentar
Posting Komentar